T-REC semarang-TUGUMUDA REPTILES COMMUNITY
SEMARANG—KOMUNITAS REPTIL SEMARANG
More info :
minat gabung : (
menerima keanggotaan diluar kota Semarang )
08995557626
..................................
KSE – KOMUNITAS
SATWA EKSOTIK – EXOTIC PETS COMMUNITY-- INDONESIA
Visit
Our Community and Joint W/ Us....Welcome All Over The World
KSE = KOMUNITAS SATWA
EKSOTIK
MENGATASI KENDALA MINAT DAN JARAK
KAMI ADA DI TIAP KOTA DI INDONESIA
MENGATASI KENDALA MINAT DAN JARAK
KAMI ADA DI TIAP KOTA DI INDONESIA
GABUNG.........HUBUNGI 08995557626
.........................
..........KUMPULAN ARTIKEL-ARTIKEL BERBAHASA INDONESIA YANG BERKAITAN DENGAN
TOPIK JUDUL.....YANG DIAMBIL DARI PENCARIAN DI GOOGLE DENGAN MENYERTAI LINK
SUMBER NYA...UNTUK MENAMBAH PENGETAHUAN DAN SEMOGA BERMANFAAT BAGI SEMUA.......
pengetahuan singkat tentang beberapa jenis ular Indonesia -basic of some of snake Indonesia
beberapa
jenis ular yang umum di Indonesia
JENIS JENIS ULAR DI INDONESIA
Reptil yang satu ini memang sudah akrab di kehidupah kita, sehingga kehidupan tentang ular menimbulkan keingin tahuan kita. Beikut ini adalah jenis-jenis ular yang biasa kita kenal. Baik ular yang berbisa (memiliki racun, venom), maupun yang tidak. Akan tetapi tidak perlu terlalu kuatir bila bertemu ular. Dari antara yang berbisa, kebanyakan bisanya tidak cukup berbahaya bagi manusia.
Lagipula, umumnya ular pergi menghindar bila bertemu orang. Ular-ular primitif, seperti ular kawat, ular karung, ular kepala dua, dan ular sanca, tidak berbisa. Ular-ular yang berbisa kebanyakan termasuk suku Colubridae; akan tetapi bisanya umumnya lemah saja.
Jenis ular-ular yang berbisa kuat di Indonesia biasanya termasuk ke dalam salah satu suku ular berikut: Elapidae (ular sendok, ular belang, ular cabai, dll.), Hydrophiidae (ular-ular laut), dan Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan). Berikut ini beberapa jenis-jenis ular yang ada di indonesia:suku Typhlopidae ular kawat (Rhamphotyphlops braminus)suku Cylindrophiidae ular kepala-dua (Cylindrophis ruffus)suku Pythonidae
ular sanca kembang (Python reticulatus)
ular peraca (P. curtus)
ular sanca hijau. (Morelia viridis') suku Acrochordidae ular karung (Acrochordus javanicus)suku Xenopeltidae ular pelangi (Xenopeltis unicolor)suku Colubridae
Ular kisik alias ular lare angon, Xenochrophis vittatus
ularsiput (Pareas carinatus)
ular-air pelangi (Enhydris enhydris)
ular kadut belang (Homalopsis buccata)
ular cecak (Lycodon capucinus)
ular gadung (Ahaetulla prasina)
ular cincin mas (Boiga dendrophila)
ular terbang (Chrysopelea paradisi)
ular tambang (Dendrelaphis pictus)
ular birang (Oligodon octolineatus)
ular tikus atau ular jali (Ptyas korros)
ular babi (Elaphe flavolineata)
ular serasah (Sibynophis geminatus)
ular sapi (Zaocys carinatus)
ular picung (Rhabdophis subminiata)
ular kisik (Xenochrophis vittatus) suku Elapidae
ular cabai (Maticora intestinalis)
ular weling (Bungarus candidus)
ular sendok (Naja spp.)
ular king-cobra (Ophiophagus hannah) suku Viperidae
ular bandotan puspo (Vipera russelli)
ular tanah (Calloselasma rhodostoma)
ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)
Reptil yang satu ini memang sudah akrab di kehidupah kita, sehingga kehidupan tentang ular menimbulkan keingin tahuan kita. Beikut ini adalah jenis-jenis ular yang biasa kita kenal. Baik ular yang berbisa (memiliki racun, venom), maupun yang tidak. Akan tetapi tidak perlu terlalu kuatir bila bertemu ular. Dari antara yang berbisa, kebanyakan bisanya tidak cukup berbahaya bagi manusia.
Lagipula, umumnya ular pergi menghindar bila bertemu orang. Ular-ular primitif, seperti ular kawat, ular karung, ular kepala dua, dan ular sanca, tidak berbisa. Ular-ular yang berbisa kebanyakan termasuk suku Colubridae; akan tetapi bisanya umumnya lemah saja.
Jenis ular-ular yang berbisa kuat di Indonesia biasanya termasuk ke dalam salah satu suku ular berikut: Elapidae (ular sendok, ular belang, ular cabai, dll.), Hydrophiidae (ular-ular laut), dan Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan). Berikut ini beberapa jenis-jenis ular yang ada di indonesia:suku Typhlopidae ular kawat (Rhamphotyphlops braminus)suku Cylindrophiidae ular kepala-dua (Cylindrophis ruffus)suku Pythonidae
ular sanca kembang (Python reticulatus)
ular peraca (P. curtus)
ular sanca hijau. (Morelia viridis') suku Acrochordidae ular karung (Acrochordus javanicus)suku Xenopeltidae ular pelangi (Xenopeltis unicolor)suku Colubridae
Ular kisik alias ular lare angon, Xenochrophis vittatus
ularsiput (Pareas carinatus)
ular-air pelangi (Enhydris enhydris)
ular kadut belang (Homalopsis buccata)
ular cecak (Lycodon capucinus)
ular gadung (Ahaetulla prasina)
ular cincin mas (Boiga dendrophila)
ular terbang (Chrysopelea paradisi)
ular tambang (Dendrelaphis pictus)
ular birang (Oligodon octolineatus)
ular tikus atau ular jali (Ptyas korros)
ular babi (Elaphe flavolineata)
ular serasah (Sibynophis geminatus)
ular sapi (Zaocys carinatus)
ular picung (Rhabdophis subminiata)
ular kisik (Xenochrophis vittatus) suku Elapidae
ular cabai (Maticora intestinalis)
ular weling (Bungarus candidus)
ular sendok (Naja spp.)
ular king-cobra (Ophiophagus hannah) suku Viperidae
ular bandotan puspo (Vipera russelli)
ular tanah (Calloselasma rhodostoma)
ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)
Ular jali
Ular jali adalah sejenis ular pemakan tikus yang rakus, karena itu
kerap disebut pula sebagai ular tikus. Namanya dalam bahasa lain adalah oray
lingas (Sd.), ula jali, ula koros atau ula kayu (Jw.), dan Indo-Chinese rat snake
(Ingg.). Nama ilmiahnya adalah Ptyas korros (Schlegel, 1837).Selain ular jali, ada beberapa jenis lain yang juga dijuluki 'ular tikus'. Di antaranya adalah ular babi (Elaphe flavolineata), ular sapi (Elaphe radiata) dan ular hijau ekor coklat (Gonyosoma oxycephalum). Kesemuanya adalah pemburu tikus yang efektif di sawah-sawah, pekarangan rumah, bahkan sering hingga masuk ke atap rumah.
Ular jali menyebar luas mulai dari India, Bangladesh, Tiongkok (termasuk Hainan dan Hong Kong), Taiwan, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Jawa dan Bali; serta Borneo.
Ular bangkai laut
Ular bangkai laut adalah sejenis ular berbisa yang berbahaya. Memiliki nama ilmiah Trimeresurus albolabris, ular ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti oray bungka, oray majapait (Sd.), ula bangka-laut atau ula gadung luwuk (Jw.), tarihu (Dompu), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama white-lipped tree viper, white-lipped pit-viper atau bamboo pit-viper.Ular ini juga dinamai ular hijau karena warna tubuhnya. Namun penamaan ini bisa menyesatkan, karena cukup banyak jenis-jenis ular pohon yang berwarna hijau, seperti halnya ular pucuk (Ahaetulla spp.) dan ular bajing (Gonyosoma oxycephalum) yang tidak berbahaya.
Ular bangkai laut termasuk ular yang agresif, mudah merasa terganggu dan lekas menggigit. Ular ini merupakan penyumbang kasus gigitan ular terbanyak, yakni sekitar 50% kasus di Indonesia (Kawamura dkk. 1975, seperti dikutip dalam David and Vogel, 1997). 2,4% di antaranya berakibat fatal.
Menurut pengalaman, ular ini biasanya menggigit para pencari kayu bakar, pencari rumput atau gembala yang tengah berjalan di hutan. Keyakinan orang-orang desa di Dompu, Sumbawa, ular ini menggigit sebab merasa terganggu. Ketika serombongan orang lalu di hutan, orang pertama yang lewat dan secara tak sengaja menyenggol dahan tempat tidur ular tarihu ini biasanya selamat, tak digigit. Ular itu hanya terbangun dan berwaspada. Orang kedua atau ketigalah yang biasanya tergigit.
Seperti umumnya ular bandotan (viper), ular bangkai laut ini memiliki bisa yang berbahaya. Bisa ini disuntikkan ke tubuh korbannya melalui sepasang taring besar melengkung yang beralur di tengahnya. Meski demikian, tidak semua gigitan ular disertai dengan pengeluaran bisa. Gigitan ‘kering’, yang bersifat refleks atau peringatan, biasanya tidak disertai bisa dan karenanya tidak membahayakan. Gigitan ‘kering’ ular ini tidak menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti yang diuraikan di bawah.
Bisa ular ini, dan umumnya ular Crotalinae, bersifat hemotoksin, merusak sistem peredaran darah. Gigitan ular ini pada manusia menimbulkan rasa sakit yang hebat, dan kerusakan jaringan di sekitar luka gigitan. Dalam menit-menit pertama setelah gigitan, jaringan akan membengkak dan sebagian akan berwarna merah gelap, pertanda terjadi perdarahan di bawah kulit di sekitar luka. Menyusul terjadi pembengkakan, rasa kaku dan nyeri yang meluas perlahan-lahan ke seluruh bagian anggota yang tergigit. Rasa nyeri terasa terutama pada persendian antara luka dan jantung. Apabila tidak ditangani dengan baik, perdarahan internal dapat menyusul terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, dan bahkan dapat membawa kematian.
Ular Anang
Ular anang
atau ular lanang (Ophiophagus hannah) adalah ular berbisa terpanjang di dunia dengan
panjang tubuh keseluruhan mencapai sekitar 5,7 m. Akan tetapi panjang hewan
dewasa pada umumnya hanya sekitar 3 – 4,5 m saja.Ular ini ditakuti orang karena
bisanya yang mematikan dan sifat-sifatnya yang terkenal agresif, meskipun
banyak catatan yang menunjukkan perilaku yang
sebaliknya.
Ular anang juga dikenal dengan beberapa nama lokal seperti oray totog (sd.), ular tedung abu, tedung selor dan lain-lain. Dalam bahasa inggris disebut king cobra atau hamadryad.
Ular anang juga dikenal dengan beberapa nama lokal seperti oray totog (sd.), ular tedung abu, tedung selor dan lain-lain. Dalam bahasa inggris disebut king cobra atau hamadryad.
ULAR EDOR
(Calloselasma rhodostoma)
(Calloselasma rhodostoma)
Nama umum yg
sudah populer ular ini adalah ular tanah. Beberapa nama lain di antaranya ialah
ular bandotan/oray gibug/oray bedudak/ular kapak & ular bedor. Nama edor yg
diberikan penduduk setempat mungkin berasal dari kata bedor, yang berarti
panah. Dinamakan demikian karena kepalanya mirip ujung anak panah, berbentuk
segitiga. Ular ini memang tergolong ular berbahaya. Ia dapat menyambar
mangsanya dgn lompatan pendek & cepat dgn arah yg tepat, melejit seperti
anak panah. Karuan saja ia pantas bila disebut ular panah.
Pada waktu pertama-tama ular ini ditemukan, ia diberi nama Trigonocephalus rhodostoma. Beberapa nama lain terdahulu di antaranya ialah Ancistrodon rhodostoma & Agkistrodon rhodostoma. Tetapi nama ilmiah yg berlaku sekarang adalah Calloselasma rhodostoma; termasuk dlm suku/famili VIPERIDAE. Panjang tubuh ular dewasa jantan antara 350 – 800 mm & ular betina sampai 1045 mm.
Ular edor tdk hanya terdapat di Karimunjawa, tetapi juga di daratan Jawa & P. Kangean. Sebarannya sangat terbatas, tidak terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku maupun Papua. Di Pulau Jawa-pun ia hanya ditemukan di Jawa Barat & beberapa tempat di Jawa Timur: di Surabaya, Malang & Kediri. Di luar Indonesia, ular ini terdapat di Thailand, Vietnam & Semenanjung Malaya bagian utara.
Habitat ular edor adalah daratan (terrestrial), selalu di atas tanah, tdk dpt memanjat pohon. Ia bersembunyi di bawah serasah/daun-daun kering, akar & batu-batuan. Jenis ular ini hidup di daerah yg kemaraunya berlangsung sedikitnya satu bulan sampai empat bulan dlm setahun.
Sifat hidupnya nocturnal, artinya ia giat mencari makan (mangsa) pd waktu malam. Pada waktu siang ia tidur di bawah akar atau batu-batuan. Corak warna tubuhnya yg mirip dgn lingkungannya, sehingga ia dpt menyamar (berkamuflase) seperti warna lingkungannya sehingga mata kita harus jeli agar dapat mengenalnya pada waktu siang hari pd jarak pandang yg tdk terlalu jauh. Memang, biasanya orang yg menjadi korban patukan ular ini tidak menyadari bahwa di dekatnya ada ular edor melingkar yg mendekam tak bergerak dgn posisi kepala mendongak siap menyergap bila ada musuh mendekat.
Sikapnya yg pendiam pd siang hari & patukannya yg mematikan, membuat banyak orang merasa ngeri menghadapi ular ini. Tapi sebenarnya jarang sekali ada kasus orang dipatuk ular edor, sebab selain langka, ia juga tdk garang. Kalau tdk tersentuh atau terpijak tdk akan menyerang orang. Kehadirannya juga umumnya jauh dari hunian masyarakat.
Pada waktu pertama-tama ular ini ditemukan, ia diberi nama Trigonocephalus rhodostoma. Beberapa nama lain terdahulu di antaranya ialah Ancistrodon rhodostoma & Agkistrodon rhodostoma. Tetapi nama ilmiah yg berlaku sekarang adalah Calloselasma rhodostoma; termasuk dlm suku/famili VIPERIDAE. Panjang tubuh ular dewasa jantan antara 350 – 800 mm & ular betina sampai 1045 mm.
Ular edor tdk hanya terdapat di Karimunjawa, tetapi juga di daratan Jawa & P. Kangean. Sebarannya sangat terbatas, tidak terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku maupun Papua. Di Pulau Jawa-pun ia hanya ditemukan di Jawa Barat & beberapa tempat di Jawa Timur: di Surabaya, Malang & Kediri. Di luar Indonesia, ular ini terdapat di Thailand, Vietnam & Semenanjung Malaya bagian utara.
Habitat ular edor adalah daratan (terrestrial), selalu di atas tanah, tdk dpt memanjat pohon. Ia bersembunyi di bawah serasah/daun-daun kering, akar & batu-batuan. Jenis ular ini hidup di daerah yg kemaraunya berlangsung sedikitnya satu bulan sampai empat bulan dlm setahun.
Sifat hidupnya nocturnal, artinya ia giat mencari makan (mangsa) pd waktu malam. Pada waktu siang ia tidur di bawah akar atau batu-batuan. Corak warna tubuhnya yg mirip dgn lingkungannya, sehingga ia dpt menyamar (berkamuflase) seperti warna lingkungannya sehingga mata kita harus jeli agar dapat mengenalnya pada waktu siang hari pd jarak pandang yg tdk terlalu jauh. Memang, biasanya orang yg menjadi korban patukan ular ini tidak menyadari bahwa di dekatnya ada ular edor melingkar yg mendekam tak bergerak dgn posisi kepala mendongak siap menyergap bila ada musuh mendekat.
Sikapnya yg pendiam pd siang hari & patukannya yg mematikan, membuat banyak orang merasa ngeri menghadapi ular ini. Tapi sebenarnya jarang sekali ada kasus orang dipatuk ular edor, sebab selain langka, ia juga tdk garang. Kalau tdk tersentuh atau terpijak tdk akan menyerang orang. Kehadirannya juga umumnya jauh dari hunian masyarakat.
Ular sanca
kembang
Sanca
kembang adalah sejenis ular tak berbisa yang berukuran besar. Ukuran terbesarnya
dikatakan dapat melebihi 10 meter. Lebih panjang dari anakonda (Eunectes), ular terbesar dan
terpanjang di Amerika Selatan. Nama-nama lainnya adalah ular sanca; ular sawah;
sawah-n-etem (Simeulue); ular petola (Ambon); dan dalam bahasa Inggris reticulated python atau kerap
disingkat reticulated python atau kerap disingkat retics
Sanca
kembang ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga sanca
(Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan melihat
sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik ventralnya yang
lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di Indonesia barat, ada lima
spesiesnya: tiga spesies bertubuh gendut pendek yakni kelompok [[ular peraca]]
(''Python curtus'' group: ''P. curtus'', ''P. brongersmai'' dan ''P.
breitensteini'') di [[Sumatra]], [[Kalimantan]] dan [[Semenanjung Malaya]]. Dua
spesies yang lain bertubuh relatif panjang, pejal berotot: ''P. molurus''
([[sanca bodo]]) dan ''P. reticulatus''. Kedua-duanya menyebar dari [[Asia]]
hingga [[Sunda Besar]], termasuk [[Jawa]]. ''P. molurus'' memiliki pola
kembangan yang berbeda dari ''reticulatus'', terutama dengan adanya pola V
besar berwarna gelap di atas kepalanya. Sanca kembang memiliki pola
lingkaran-lingkaran besar berbentuk jala (''reticula'', jala), tersusun dari
warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal
tubuhnya. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga
tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara
simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal berada di
tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Sisik-sisik ''dorsal'' (punggung) tersusun dalam 70-80 deret; sisik-sisik ''ventral'' (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher hingga ke anus; sisik ''subkaudal'' (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai ''rostral'' (sisik di ujung moncong) dan empat perisai ''supralabial'' (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk lubang penghidu bahang (''heat sensor pits'') yang dalam (Tweedie 1983).
Sisik-sisik ''dorsal'' (punggung) tersusun dalam 70-80 deret; sisik-sisik ''ventral'' (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher hingga ke anus; sisik ''subkaudal'' (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai ''rostral'' (sisik di ujung moncong) dan empat perisai ''supralabial'' (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk lubang penghidu bahang (''heat sensor pits'') yang dalam (Tweedie 1983).
Ular
sendok
Ular sendok atau yang juga dikenal dengan nama kobra adalah sejenis ular berbisa dari suku Elapidae. Disebut ular sendok (Jw., ula irus) karena ular ini dapat menegakkan dan memipihkan lehernya apabila merasa terganggu oleh musuhnya. Leher yang memipih dan melengkung itu serupa bentuk sendok atau irus (sendok sayur).
Ular sendok atau yang juga dikenal dengan nama kobra adalah sejenis ular berbisa dari suku Elapidae. Disebut ular sendok (Jw., ula irus) karena ular ini dapat menegakkan dan memipihkan lehernya apabila merasa terganggu oleh musuhnya. Leher yang memipih dan melengkung itu serupa bentuk sendok atau irus (sendok sayur).
stilah
kobra dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, cobra, yang
sebetulnya juga merupakan pinjaman dari bahasa Portugis.
Dalam bahasa terakhir itu, cobra merupakan sebutan umum bagi ular, yang
diturunkan dari bahasa Latin colobra (coluber, colubra), yang juga berarti
ular. Ketika para pelaut Portugis di abad ke-16 tiba di Afrika dan Asia
Selatan, mereka menamai ular sendok yang mereka dapati di sana dengan istilah
cobra-capelo, ular bertudung. Dari nama inilah berkembang sebutan-sebutan yang
mirip dalam bahasa-bahasa Spanyol, Prancis, Inggris dan lain-lain bahasa Eropa.
Ular sendok dalam bahasa Indonesia merujuk pada beberapa jenis ular dari marga Naja. Sedangkan ular king-cobra (Ophiophagus hannah) biasanya di sini disebut dengan istilah ular anang atau ular tedung.
Ular sendok dalam bahasa Indonesia merujuk pada beberapa jenis ular dari marga Naja. Sedangkan ular king-cobra (Ophiophagus hannah) biasanya di sini disebut dengan istilah ular anang atau ular tedung.
Mengenal beberapa jenis ular di indonesia
Ular merupakan salah satu reptil yang paling sukses
berkembang di dunia. Di gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian,
lingkunganpemukiman, sampai ke lautan, dapat ditemukan ular. Hanya saja,
sebagaimana umumnya hewan berdarah dingin, ular semakin jarang ditemui di
tempat-tempat yang dingin, seperti di puncak-puncak gunung, di daerah Irlandia
dan Selandia baru dan daerah daerah padang salju atau kutub.
Banyak jenis-jenis ular yang sepanjang hidupnya
berkelana di pepohonan dan hampir tak pernah menginjak tanah. Banyak jenis yang
lain hidup melata di atas permukaan tanah atau menyusup-nyusup di bawah serasah
atau tumpukan bebatuan. Sementara sebagian yang lain hidup akuatik atau
semi-akuatik di sungai-sungai, rawa, danau dan laut.
Ular memangsa berbagai jenis hewan lebih kecil dari tubuhnya. Ular-ular perairan memangsa ikan, kodok, berudu, dan bahkan telur ikan. Ular pohon dan ular darat memangsa burung, mamalia, kodok, jenis-jenis reptil yang lain, termasuk telur-telurnya. Ular-ular besar seperti ular sanca kembangdapat memangsa kambing, kijang, rusa dan bahkan manusia.
Ular memangsa berbagai jenis hewan lebih kecil dari tubuhnya. Ular-ular perairan memangsa ikan, kodok, berudu, dan bahkan telur ikan. Ular pohon dan ular darat memangsa burung, mamalia, kodok, jenis-jenis reptil yang lain, termasuk telur-telurnya. Ular-ular besar seperti ular sanca kembangdapat memangsa kambing, kijang, rusa dan bahkan manusia.
Kebiasaan dan Reproduksi
Ular memakan mangsanya bulat-bulat; artinya, tanpa
dikunyah menjadi keping-keping yang lebih kecil. Gigi di mulut ular tidak
memiliki fungsi untuk mengunyah, melainkan sekedar untuk memegang mangsanya
agar tidak mudah terlepas. Agar lancar menelan, ular biasanya memilih menelan
mangsa dengan kepalanya lebih dahulu.
Beberapa jenis ular, seperti sanca dan ular tikus,
membunuh mangsa dengan cara melilitnya hingga tak bisa bernapas. Ular-ular
berbisa membunuh mangsa dengan bisanya, yang dapat melumpuhkan sistem saraf
pernapasan dan jantung (neurotoksin), atau yang dapat merusak peredaran darah
(haemotoksin), dalam beberapa menit saja. Bisa yang disuntikkan melalui gigitan
ular itu biasanya sekaligus mengandung enzim pencerna, yang memudahkan
pencernaan makanan itu apabila telah ditelan.
Untuk menghangatkan tubuh dan juga untuk membantu
kelancaran pencernaan, ular kerap kali perlu berjemur (basking) di bawah
sinar matahari.
Kebanyakan jenis ular berkembang biak dengan bertelur.
Jumlah telurnya bisa beberapa butir saja, hingga puluhan dan ratusan butir.
Ular meletakkan telurnya di lubang-lubang tanah, gua, lubang kayu lapuk, atau
di bawah timbunan daun-daun kering. Beberapa jenis ular diketahui menunggui
telurnya hingga menetas; bahkan ular sanca ‘mengerami’ telur-telurnya.
Sebagian ular, seperti ular kadut belang, ular pucuk
dan ular bangkai laut ‘melahirkan’ anak. Sebetulnya tidak melahirkan seperti
halnya mamalia, melainkan telurnya berkembang dan menetas di dalam tubuh
induknya (ovovivipar), lalu keluar sebagai ular kecil-kecil.
Sejenis ular primitif, yakni ular buta atau ular
kawat Rhampotyphlops braminus, sejauh ini hanya diketahui yang
betinanya. Ular yang mirip cacing kecil ini diduga mampu bertelur dan berbiak
tanpa ular jantan (partenogenesis).
Ular dan Manusia
Dalam kitab-kitab suci, ular kebanyakan dianggap
sebagai musuh manusia. Dalam Alkitab (Perjanjian Lama) diceritakan bahwa Iblis
menjelma dalam bentuk ular, dan membujuk Hawa dan Adam sehingga terpedaya dan
harus keluar dari Taman Eden. Dalam kisah Mahabharata, Kresna kecil sebagai
penjelmaan Dewa Wisnu mengalahkan ular berkepala lima yang jahat. Dalam salah
satu Hadits Rasulullah saw. pun ada anjuran untuk membunuh ‘ular hitam yang
masuk/berada di dalam rumah’.
Anggapan-anggapan ini, bagaimanapun, turut berpengaruh
dan menjadikan kebanyakan orang merasa benci, jika bukan takut, kepada ular.
Meskipun sesungguhnya ketakutan itu kurang beralasan, atau lebih disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan orang umumnya terhadap sifat-sifat dan bahaya yang
mungkin ditimbulkan oleh ular. Pada kenyataannya, kasus gigitan ular –apalagi
yang sampai menyebabkan kematian– sangat jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kasus kecelakaan di jalan raya, atau kasus kematian (oleh penyakit) akibat
gigitan nyamuk.
Pada pihak yang lain, ular pun telah ratusan atau
ribuan tahun dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh manusia. Ular kobra yang amat
berbisa dan ular sanca pembelit kerap digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan
keberanian. Empedu, darah dan daging beberapa jenis ular dianggap sebagai obat
berkhasiat tinggi, terutama di Tiongkok dan daerah Timur lainnya. Sementara itu
kulit beberapa jenis ular memiliki nilai yang tinggi sebagai bahan perhiasan,
sepatu dan tas. Seperti halnya biawak, kulit ular (terutama ular sanca, ular
karung, dan ular anakonda) yang diperdagangkan di seluruh dunia mencapai
ratusan ribu hingga jutaan helai kulit mentah pertahun.
Dalam kenyataannya, ular justru kini semakin punah
akibat aneka penangkapan, pembunuhan yang tidak berdasar, serta kerusakan
habitat dan lingkungan hidupnya. Ular-ular yang dulu turut serta berperan dalam
mengontrol populasi tikus di sawah dan kebun, kini umumnya telah habis atau
menyusut jumlahnya. Maka tidak heran, di tempat-tempat yang sawah dan padinya
rusak dilanda gerombolan tikus, seperti di beberapa tempat di Kabupaten Sleman,
Jogjakarta, petani setempat kini memerlukan untuk melepaskan kembali
(reintroduksi) berjenis-jenis ular sawah dan melarang pemburuan ular di
desanya.
Ular tidak memiliki daun telinga dan gendang telinga,
tidak mempunya keistimewaan ada ketajaman indera mata maupun telinga. Matanya
selalu terbuka dan dilapisi selaput tipis sehingga mudah melihat gerakan
disekelilingnya, sayangnya ia tidak dapat memfokuskan pandangnnya. Ular baru
dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat.
Indera yang menjadi andalan ular adalah sisik pada
perutnya, yang dapat menangkap getaran langkah manusia atau binatang lainnya.
Lubang yang terdapat antara mata dan mulut ular dapat
berfungsi sebagai thermosensorik (sensor panas) - organ ini biasa disebut ceruk
atau organ Jacobson. Ular juga dapat mengetahui perubahan suhu karena
kedatangan mahluk lainnya, contohnya ular tanah memiliki ceruk yang peka
sekali.
Manusia sebenarnya tidak usah takut pada ular karena
ular sendiri yang sebenarnya takut pada manusia. Ular tidak dapat mengejar
manusia, gerakannya yang lamban bukan tandingan manusia. Rata rata ular
bergerak sekitar 1,6 km per jam, jenis tercepat adalah ular mambaa di Afrika
yang bisa lari dengan kecepatan 11 km per jam. Sedangkan manusia, sebagai
perbandingan, dapat berlari antara 16-24 km per jam.
Habitat dan Makanan
Ular merupakan salah satu reptil yang paling sukses
berkembang di dunia. Di gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian,
lingkunganpemukiman, sampai ke lautan, dapat ditemukan ular. Hanya saja,
sebagaimana umumnya hewan berdarah dingin, ular semakin jarang ditemui di
tempat-tempat yang dingin, seperti di puncak-puncak gunung, di daerah Irlandia
dan Selandia baru dan daerah daerah padang salju atau kutub.
Banyak jenis-jenis ular yang sepanjang hidupnya
berkelana di pepohonan dan hampir tak pernah menginjak tanah. Banyak jenis yang
lain hidup melata di atas permukaan tanah atau menyusup-nyusup di bawah serasah
atau tumpukan bebatuan. Sementara sebagian yang lain hidup akuatik atau
semi-akuatik di sungai-sungai, rawa, danau dan laut.
Ular memangsa berbagai jenis hewan lebih kecil dari
tubuhnya. Ular-ular perairan memangsa ikan, kodok, berudu, dan bahkan telur
ikan. Ular pohon dan ular darat memangsa burung, mamalia, kodok, jenis-jenis
reptil yang lain, termasuk telur-telurnya. Ular-ular besar seperti ular sanca
kembangdapat memangsa kambing, kijang, rusa dan bahkan manusia.
Berikut adalah beberapa jenis ular yang kita kenal :
Ular kawat
Ular kawat merupakan sejenis ular yang terkecil di
dunia. Nama ilmiahnya adalah Ramphotyphlops braminus (Daudin, 1803). Sementara
nama-namanya dalam bahasa lain adalah common blindsnake, Brahminy blindsnake,
flowerpot snake, bootlace snake (Eng.); ular kawat, ular cacing (Ind.), ular
duwel .
Identifikasi
Ular kawat bertubuh amat kecil, nampak berkilau
seperti sepotong kawat kecil kehitaman. Panjang tubuh hingga 175 mm, akan
tetapi jarang yang lebih panjang dari 15 cm. Kebanyakan malah sekitar 10 cm
atau kurang.
Tubuhnya berwarna hitam, kehitaman, kecoklatan, atau
abu-abu kebiruan. Umumnya lebih gelap di bagian dorsal (punggung) dan lebih
muda di sisi ventral (perut). Ekornya amat pendek dan pada ujungnya terdapat
runcingan serupa duri. Terkadang kedua ujungnya (kepala dan ekor) berwarna
lebih muda atau keputihan.
Matanya tersembunyi dan hanya nampak sebagai bintik
gelap samar-samar di balik sisik kepalanya. Oleh sebab itu, dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai blind snake (ular buta). Sisik-sisik yang menutupi
bagian tengah tubuh tersusun dalam 20 deret, amat halus dan serupa saja
bentuknya di bagian dorsal maupun ventral.
Kebiasaan dan ekologi
Ular ini sangat mirip cacing, baik ukuran tubuh maupun
perilakunya. Sering ditemukan di bawah perabotan rumah, di balik pot-pot
tanaman dan di halaman, di bawah batu dan kayu-kayu busuk, ular ini dengan
segera menggelepar seperti cacing bila terusik. Namun bila diamati dengan seksama,
terlihat ular ini memiliki sisik yang berkilau dan kulitnya tidak berlendir.
Ular kawat menggemari tempat-tempat yang sedemikian
untuk mencari mangsanya yang berupa telur-telur semut, rayap dan berbagai
serangga kecil lainnya. Mulutnya begitu kecil, dan hanya cukup untuk menelan
mangsanya yang juga amat kecil. Karena itu adanya sangka-sangkaan orang bahwa
ular kawat termasuk semacam ular yang amat berbisa dan dapat mematikan manusia
hanyalah mitos yang tidak berdasar. Ular ini bahkan tidak mampu menggigit
orang.
Ular ini diduga berbiak secara partenogenesis, yakni
telurnya berkembang menjadi individu ular tanpa dibuahi oleh ular jantan.
Dugaan ini muncul karena semua spesimen ular ini yang berhasil dikumpulkan
ternyata teridentifikasi dengan kelamin betina (Tweedie, 1983). Sejenis ular
lain yang juga diketahui memiliki kemampuan partenogenesis adalah ular karung
Papua (Acrochordus arafurae).
Kebiasaan ular ini yang hidup di bawah tanah
(fossorial), ukurannya yang amat kecil, dan kemampuan partenogenesisnya,
menjadikan ular kawat ini mudah tersebar luas; populasinya dapat terbentuk
hanya dengan satu spesimen ular yang terbawa dalam tanah pada pot tanaman.
Penyebaran
Penyebaran ular ini amat luas: Afrika (Zanzibar,
Tanzania, Mozambique, Somalia, Kamerun, Benin, Togo, Pantai Gading).
Madagaskar, kepulauan-kepulauan Comoro, Mascarenes, Seychelles, Mauritius,
Reunion, Rodrigues.
Asia tropis (Arab, Persia, India, Srilanka, Myanmar,
Muangthai, Indochina, Tiongkok selatan, Jepang selatan, Hongkong, Taiwan,
Filipina, Semenanjung Malaya, dan kepulauan-kepulauan di Samudera Hindia).
Pasifik (Guam, Solomon, New Caledonia, Hawaii),
Meksiko, Guatemala dan Hindia Barat.
Di Indonesia ular kawat menyebar di seluruh kepulauan.
Jenis yang berkerabat
Ada beberapa banyak spesies ular kawat lainnya dari
marga Typhlops di Indonesia barat, Cyclotyphlops di Sulawesi dan Acutotyphlops
di Papua. Kerabat dekat ular kawat, yakni Ramphotyphlops lineatus (Schlegel,
1839), memiliki panjang tubuh sampai sekitar 48 cm dan menyebar dari Thailand,
Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Nias, Kalimantan, Jawa barat dan
tengah.
Ular kepala-dua
Ular kepala-dua adalah sejenis ular primitif yang
tidak berbisa. Dinamai demikian, karena perilakunya manakala merasa terganggu,
ular ini menegakkan ekornya seolah-olah di situlah letak kepalanya pada
kenyataannya kepala yang sesungguhnya disembunyikannya di bawah gulungan
badannya.
Ular ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti,
oray totog atau oray teropong (Sd.), majara (Toraja), ular gelenggang, dan
lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama Red-tailed Pipe Snake atau
Common Pipe Snake, sementara nama ilmiahnya adalah Cylindrophis ruffus
(Laurenti, 1768).
Pemerian
Ular yang bertubuh silindris (cylindrophis; Gr.
kylinder, batang penggiling, dan ophis, ular), dengan ekor amat pendek dan
hampir tak terbedakan dengan kepala. Kepala dan ekor sama-sama tumpul. Panjang
tubuh dapat mencapai 90 cm, akan tetapi agak jarang yang melebihi 50 cm.
Tubuh bagian atas (dorsal) berwarna hitam, dengan belang-belang
merah jingga di kanan-kirinya (ruffus; salah tulis dari kata rufus, kemerahan).
Kepala dan ekor berwarna merah jingga dengan noda-noda hitam. Warna-warna cerah
ini sering memudar atau menghilang dengan bertambahnya umur dan ukuran tubuh
ular, sehingga ular nampak dominan kehitaman. Sisi bawah tubuh (ventral) hitam
dengan belang-belang putih, setidaknya sebagian tersusun berseling seperti
papan catur. Sisi bawah ekor kemerahan, menyebabkannya sering disangka sebagai
ular cabe (Maticora intestinalis) yang berbisa.
Sisik-sisik di sisi ventral tidak terbedakan (tidak
melebar) dari sisik-sisik dorsal. Sisik ventral 186-222, sisik anal berbelah,
sisik subkaudal (bawah ekor) 5-7 buah, dan sisik dorsal dalam 19-21 deret di
tengah badan.
Kebiasaan
Ular kepala-dua umumnya ditemukan di dataran rendah,
meskipun Tweedie (1983) menyebutkan pernah didapatkan pada ketinggian 1.700 m
dpl. Ular ini menghuni hutan-hutan dataran rendah yang lembap, kebun dan
lahan-lahan pertanian. Tempat yang disukainya adalah yang memiliki tanah gembur
atau berlumpur, di mana ular ini dapat menyusup masuk (fossorial) untuk mencari
mangsanya. Karena itu, ular kepala-dua sering pula ditemukan di sekitar daerah
berawa-rawa dan persawahan, di bawah kayu-kayu lapuk di hutan, di balik tumpukan
serasah yang membusuk, atau di tepi sungai. Ular ini tidak jarang dijumpai di
jalan tanah, di pagi hari sesudah hujan lebat turun pada malamnya.
Aktif di malam hari (nokturnal), ular kepala-dua
diketahui memangsa ular-ular lain yang lebih kecil, kadal, bayi-bayi mamalia,
dan cacing tanah. Juga pernah dilaporkan memangsa sejenis sidat dan larva
serangga.
Ular yang berwarna indah ini sama sekali tidak
berbahaya, bahkan tidak mau menggigit orang. Bila merasa terusik, alih-alih
berlari ular kepala-dua biasanya segera menggulung tubuhnya dan menyembunyikan
kepalanya, serta menegakkan ekornya tinggi-tinggi. Postur ekornya yang memipih
dan melengkung dengan tepat, mengingatkan kita pada rupa seekor kobra yang
sedang marah, meski berukuran lebih kecil. Namun hanya itu saja kebisaannya.
Bilamana si pengganggu tidak kena digertak, ular inilah yang segera beringsut
pergi. Tentu saja dengan kepala aslinya lebih dahulu.
Melihat postur yang ‘mengancam’ itu, orang-orang yang
tidak mengenalnya biasanya tanpa ampun segera membunuhnya. Dan malangnya ular
ini tidak begitu lincah dan cepat untuk menghindarinya.
Ular kepala-dua bersifat ovovivipar, telurnya menetas
selagi dalam kandungan, dan melahirkan sampai 13 ekor anak di satu saat.
Kerabat dan Penyebaran
Cylindrophis ruffus memiliki dua anak jenis
(subspesies), yakni:
·
C.r. ruffus (Laurenti, 1768), yang menyebar luas mulai
dari Tiongkok dan Hainan di utara, Hong Kong, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, Jawa,Sulawesi, Kepulauan Sula, Kepulauan
Sangihe, Buton, Boano dan Bacan di Maluku.
·
C.r. burmanus Smith, 1943, menyebar terbatas di
Myanmar.
Sedangkan jenis-jenis lain dalam marga yang sama
adalah:
·
Cylindrophis aruensis, di Maluku.
·
Cylindrophis boulengeri
·
Cylindrophis engkariensis, di Serawak.
·
Cylindrophis isolepis
·
Cylindrophis lineatus, di Borneo.
·
Cylindrophis maculatus
·
Cylindrophis melanotus
·
Cylindrophis opisthorhodus
·
Cylindrophis yamdena, di Maluku.
Ular sanca kembang
Sanca kembang adalah sejenis ular tak berbisa yang
berukuran besar. Ukuran terbesarnya dikatakan dapat melebihi 10 meter. Lebih
panjang dari anakonda (Eunectes), ular terbesar dan terpanjang di Amerika
Selatan. Nama-nama lainnya adalah ular sanca; ular sawah; sawah-n-etem
(Simeulue); ular petola (Ambon); dan dalam bahasa Inggris reticulated python
atau kerap disingkat retics.
Identifikasi
Sanca kembang ini mudah dikenali karena umumnya
bertubuh besar. Keluarga sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari
ular-ular lain dengan melihat sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret,
dan sisik-sisik ventralnya yang lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di
Indonesia barat, ada lima spesiesnya: tiga spesies bertubuh gendut pendek yakni
kelompok ular peraca (Python curtus group: P. curtus, P. brongersmai dan P. breitensteini)
di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
Dua spesies yang lain bertubuh relatif panjang, pejal
berotot: P. molurus (sanca bodo) dan P. reticulatus. Kedua-duanya menyebar dari
Asia hingga Sunda Besar, termasuk Jawa. P. molurus memiliki pola kembangan yang
berbeda dari reticulatus, terutama dengan adanya pola V besar berwarna gelap di
atas kepalanya. Sanca kembang memiliki pola lingkaran-lingkaran besar berbentuk
jala (reticula, jala), tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan
putih di sepanjang sisi dorsal tubuhnya. Satu garis hitam tipis berjalan di
atas kepala dari moncong hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi
dua kanan kiri kepala secara simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain
yang lebih tebal berada di tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80
deret; sisik-sisik ventral (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher
hingga ke anus; sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai
rostral (sisik di ujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di
bibir atas) terdepan memiliki lekuk lubang penghidu bahang (heat sensor pits)
yang dalam (Tweedie 1983).
Biologi dan Penyebaran
Sanca kembang terhitung ular yang terbesar dan
terpanjang di dunia. The Guinness Book of World Records tahun 1991 mencatat
sanca kembang sepanjang 32 kaki 9.5 inci (sekitar 10 meter) sebagai ular yang
terpanjang (Murphy and Henderson 1997). Namun yang umum dijumpai adalah
ular-ular yang berukuran 5-8 meter. Sedangkan berat maksimal yang tercatat
adalah 158 kg (347.6 lbs). Ular sanca termasuk ular yang berumur panjang,
hingga lebih dari 25 tahun.
Ular-ular betina memiliki tubuh yang lebih besar. Jika
yang jantan telah mulai kawin pada panjang tubuh sekitar 7-9 kaki, yang betina
baru pada panjang sekitar 11 kaki. Dewasa kelamin tercapai pada umur antara 2-4
tahun.
Musim kawin berlangsung antara September hingga Maret
di Asia. Berkurangnya panjang siang hari dan menurunnya suhu udara merupakan
faktor pendorong yang merangsang musim kawin. Namun demikian, musim ini dapat
bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Shine et al. 1999 mendapatkan bahwa
sanca kembang di sekitar Palembang, Sumatera Selatan, bertelur antara
September-Oktober; sementara di sekitar Medan, Sumatera Utara antara bulan
April-Mei.
Jantan maupun betina akan berpuasa di musim kawin,
sehingga ukuran tubuh menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan akan
melanjutkan puasa hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur menetas
(McCurley 1999).
Sanca kembang bertelur antara 10 hingga sekitar 100
butir. Telur-telur ini ‘dierami’ pada suhu 88-90 °F (31-32 °C) selama 80-90
hari, bahkan bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur
ini sambil berkontraksi. Gerakan otot ini menimbulkan panas yang akan
meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Betina akan
menjaga telur-telur ini dari pemangsa hingga menetas. Namun hanya sampai itu
saja; begitu menetas, bayi-bayi ular itu ditinggalkan dan nasibnya diserahkan
ke alam.
Sanca kembang menyebar di hutan-hutan Asia Tenggara.
Mulai dari Kep. Nikobar, Burma hingga ke Indochina; ke selatan melewati
Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara (hingga
Timor), Sulawesi; dan ke utara hingga Filipina (Murphy and Henderson 1997).
Sanca kembang memiliki tiga subspesies. Selain P.r.
reticulatus yang hidup menyebar luas, dua lagi adalah P.r. jampeanus yang
menyebar terbatas di Pulau Tanah Jampea dan P.r. saputrai yang menyebar
terbatas di Kepulauan Selayar. Kedua-duanya di lepas pantai selatan Sulawesi
Selatan.
Ekologi
Sanca kembang hidup di hutan-hutan tropis yang lembap
(Mattison, 1999). Ular ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap
ditemui tidak jauh dari badan air seperti sungai, kolam dan rawa.
Makanan utamanya adalah mamalia kecil, burung dan
reptilia lain seperti biawak. Ular yang kecil memangsa kodok, kadal dan ikan.
Ular-ular berukuran besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa,
bahkan manusia yang ‘tersesat’ ke tempatnya menunggu mangsa (Mattison 1999,
Murphy and Henderson 1997, Shine et al. 1999). Ular ini lebih senang menunggu
daripada aktif berburu, barangkali karena ukuran tubuhnya yang besar
menghabiskan banyak energi.
Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat
(constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan
panggul mungkin patah karenanya. Kemudian setelah mati mangsa ditelan
bulat-bulat mulai dari kepalanya.
Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang
besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan hingga ia
lapar kembali. Seekor sanca yang dipelihara di Regent’s Park pada tahun 1926
menolak untuk makan selama 23 bulan, namun setelah itu ia normal kembali
(Murphy and Henderson 1997).
Sanca dan Manusia
Sanca --terutama yang kecil-- kerap dipelihara orang
karena relatif jinak dan indah kulitnya. Pertunjukan rakyat, seperti topeng
monyet, seringkali membawa seekor sanca kembang yang telah jinak untuk
dipamerkan. Sirkus lokal juga kadang-kadang membawa sanca berukuran besar untuk
dipamerkan atau disewakan untuk diambil fotonya.
Sanca banyak diburu orang untuk diambil kulitnya yang
indah dan bermutu baik. Lebih dari 500.000 potong kulit sanca kembang
diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besar kulit-kulit ini diekspor dari
Indonesia, dengan sumber utama Sumatra dan Kalimantan. Semua adalah hasil
tangkapan di alam liar.
Jelas perburuan sanca ini sangat mengkhawatirkan
karena mengurangi populasinya di alam. Catatan dari penangkapan ular komersial
di Sumatra mendapatkan bahwa sanca kembang yang ditangkap ukurannya bervariasi
antara 1 m hingga 6 m, dengan rata-rata ukuran untuk jantan 2.5 m dan betina
antara 3.1 m (Medan) – 3.6 m (Palembang). Kira-kira sepertiga dari betina
tertangkap dalam keadaan reproduktif (Shine et al. 1999). Hingga saat ini, ular
ini belum dilindungi undang-undang. CITES (konvensi perdagangan hidupan liar
yang terancam) memasukkannya ke dalam Apendiks II.
Ular pelangi
Ular pelangi adalah sejenis ular yang termasuk anggota
suku Xenopeltidae. Ular ini diberi nama demikian karena lapisan transparan pada
sisiknya membiaskan warna-warni pelangi dari cahaya matahari. Dalam bahasa
Inggris disebut dengan nama sunbeam snake atau iridescent earth snake.
Sementara nama ilmiahnya adalah Xenopeltis unicolor (Schneider, 1799), merujuk
pada keistimewaan sisik-sisiknya (Xeno: aneh, ajaib; peltis: perisai).
Pemerian
Sisi atas tubuh (dorsal, punggung) berwarna coklat
atau abu-abu kehitaman, merata (unicolor: berwarna seragam) dan berkilauan
apabila terkena cahaya. Sisik-sisik dorsal dalam 15 deret. Deret terbawah
berwarna putih, beberapa deret berikutnya seperti warna punggung umumnya namun
dengan tepian berwarna putih. Sisi bawah tubuh (ventral) putih.
Ular muda dengan kepala dan leher yang berwarna putih,
kecuali moncongnya yang kecoklatan. Warna putih ini berangsur-angsur menghilang
bersama dengan bertambah besarnya sang ular.
Perisai (sisik-sisik besar) di atas ubun-ubun kepala
berbentuk mirip belah ketupat. Tidak seperti kebanyakan ular, perisai parietal
(pelipis) kanan dan kiri tidak bersinggungan; melainkan terpisah oleh adanya
perlekatan perisai frontal (dahi, di antara kedua mata) dengan perisai
oksipital tengah yang berukuran besar. Keempat perisai itu berukuran hampir
sama besar, dan bersama-sama membentuk bangun belah ketupat yang lebih besar
lagi.
Panjang tubuh maksimum lebih sedikit dari satu meter,
kebanyakan antara 80-90 cm. Ekornya pendek, sekitar sepersepuluh panjang tubuh
atau kurang. Sisik-sisik ventral 173-196 buah, anal (yang menutupi anus)
sepasang, dan subkaudal (di bawah ekor) 24-32 pasang.
Bio-ekologi
Ular pelangi menghuni daerah lembap dan berawa-rawa di
sekitar pantai, sungai, persawahan, dan daerah berhutan; di dataran rendah
hingga pegunungan di ketinggian sekitar 1300 m dpl (David and Vogel, 1997).
Tidak jarang pula ditemukan di sekitar pemukiman, terutama di daerah terbuka
dan berumput-rumput yang meliar. Ular ini sering bersembunyi di bawah kayu
busuk, bebatuan, tumpukan serasah, atau menggali lubang dalam lumpur, tidak jauh
dari air.
Mangsanya terutama terdiri dari kodok, kadal,
jenis-jenis ular lain, dan mungkin pula burung yang tinggal di atas tanah.
Tweedie (1983) menyebutkan bahwa ular pelangi yang dipelihara dalam kandang
juga mau memangsa tikus. Ular ini aktif di siang dan malam hari, meski karena
pemalu jarang terlihat di siang hari.
Berkembang biak dengan bertelur (ovipar), ular pelangi
setiap kalinya mengeluarkan hingga 17 butir telur. ular ini dapat di temukan di
hampir seluruh wilayah indonesia
Penyebaran
Ular ini termasuk yang umum ditemukan, dan menyebar
luas mulai dari India, Tiongkok, Burma, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand,
Semenanjung Malaya hingga ke Filipina.
Di Indonesia, ular pelangi ditemukan di pulau-pulau
Sumatra, Simeulue, Nias, Kep. Mentawai, Kep. Riau, Jawa, Kalimantan hingga
Sulawesi.
Catatan Lain-lain
Ular pelangi termasuk golongan ular yang tidak
berbahaya. Ular ini tidak berbisa dan biasanya tidak mau menggigit ketika
ditangkap. Tatkala baru terpegang, ular pelangi kerap menggetarkan ekornya kuat-kuat.
Ular ini juga mengeluarkan cairan berbau memualkan seperti bau bawang putih
yang keras untuk mengusir musuhnya.
Ular ini mudah jinak dan relatif gampang dipelihara.
Dalam tangkaran, ular pelangi dapat mencapai usia lebih dari 13 tahun (David
and Vogel, 1997).
Mengingat kulitnya yang relatif tebal dan bermutu
baik, ular pelangi termasuk salah satu di antara sasaran para pemburu dan
pedagang kulit ular. Sayang sekali, belum ada informasi yang memadai mengenai
keadaan populasinya di alam.
ULAR SIPUT
Ular siput (Pareas carinatus) adalah sejenis ular
kecil anggota suku Colubridae. Dinamai demikian baik karena mangsa utamanya
adalah aneka siput kecil, maupun karena gerakannya yang lamban seperti
mangsanya itu. Dalam bahasa Inggris ular ini dikenal sebagai keeled slug-snake
atau keeled slug-eating snake, merujuk pada sisik-sisik vertebralnya yang
berlunas rendah (keeled).
Pengenalan
Ular kecil yang bertubuh ramping, cenderung kurus.
Panjang tubuh total hingga sekitar 60 cm. Coklat kusam, coklat muda atau coklat
agak kekuningan di sisi sebelah atas, dengan belang-belang hitam yang tipis dan
samar-samar di sepanjang tubuhnya, kecuali pola X memanjang berwarna hitam
tegas di atas tengkuk.Sisi bawah tubuh (ventral) kuning atau kekuningan, dengan
bintik-bintik halus gelap atau kemerahan. Kepala menjendol besar dengan moncong
tumpul agak janggal. Mata relatif besar, dengan iris berwarna kuning
kecoklatan. Ekor kurus meruncing.
Ular ini tidak memiliki celah lurus di antara
perisai-perisai[2] dagunya (mental groove). Di antara perisai nasal (hidung)
dan mata terdapat dua buah perisai, yakni loreal dan preokular. Perisai labial
(bibir) atas 7–9 buah, dipisahkan dari mata oleh 2–4 sisik kecil-kecil.
Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan, sisik-sisik
vertebral (yang paling atas, di atas tulang punggung) sedikit membesar dan
berlunas rendah. Perisai-perisai ventral (perut) berjumlah 170–184 buah;
perisai anal (dubur) tunggal; perisai subkaudal (bawah ekor) 60-88 buah, tak
berpasangan.
Kebiasaan, anak jenis dan penyebaran
Aktif di malam hari (nokturnal), ular siput biasa
ditemui di hutan-hutan dataran rendah dan hutan pegunungan yang basah,
lingkungan perkebunan hingga ke dekat permukiman. Sering memanjat vegetasi
penutup tanah di tempat-tempat lembap, ular ini memburu dan memangsa aneka
siput dan siput tak bercangkang. Tak jarang pula ular ini ditemukan menjalar
perlahan di lantai hutan dan di dekat batang air. Catatan dari Berastagi
menunjukkan bahwa ular ini didapati hingga ketinggian 1.300 m dpl. Ular siput
bertelur hingga 8 butir.
Ular ini tidak berbisa, bahkan tak dapat menggigit
manusia. Akan tetapi perilakunya ketika merasa terancam mirip dengan ular
berbisa; leher dan tubuh bagian depan ditarik melengkung membentuk huruf S,
kemudian secepat kilat ular ini mematuk ke depan. Namun sesungguhnya mulutnya
terlampau sempit untuk membuka dan menggigit ujung jari sekalipun. Dengan
demikian sebetulnya gerakan itu hanya berfungsi untuk menakut-nakuti si
pengganggu belaka, tanpa dapat melukai sedikitpun.
Celakanya, karena perilakunya itu ular siput kerap
dibunuh orang. Karena lambannya, ular ini juga tidak jarang tergilas kendaraan
ketika menyeberang jalan atau bahkan tidur bergelung di jalan yang hangat di
waktu malam.
Pareas carinatus memiliki dua anak jenis.
·
P.c. carinatus menyebar luas di Asia Tenggara, mulai
dari Burma, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Cina selatan (Yunnan),
Semenanjung Malaya, serta Indonesia (Borneo, Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok).
·
P.c. unicolor (Bourret, 1934) terbatas di Kamboja.
Jenis yang serupa
Ular siput belang (Pareas nuchalis) memiliki
ciri-ciri, bentuk tubuh dan perilaku yang amat serupa dengan Pareas carinatus.
Keduanya sulit untuk dibedakan, kecuali dengan menghitung jumlah
sisik-sisiknya. P. nuchalis memiliki 8-9 perisai labial atas, 207–218 perisai
ventral, dan 105–108 perisai subkaudal. Ular ini ditemukan terbatas (endemik)
di Borneo, di hutan-hutan dataran rendah tidak lebih dari ketinggian 500 m dpl.
ULAR AIR PELANGI
Ular-air pelangi adalah sejenis ular dari suku
Colubridae, anak suku Homalopsinae. Ular ini dinamakan demikian karena
warna-warni di tubuhnya menyerupai jalur-jalur warna pada pelangi, meski
biasanya tidak begitu cerah. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama rainbow
water-snake. Umum mengenalnya sebagai ular air, uler aer (Betawi), ulo banyu
(Jawa), dan lain-lain. Sementara nama ilmiahnya adalah Enhydris enhydris
(Schneider, 1799).
Pemerian
Ular yang umumnya bertubuh relatif kecil sampai
sedang, panjang maksimum lebih sedikit dari 80 cm, meski kebanyakan antara
50-60 cm. Berkepala kecil, meski sering berperut gendut, dan berekor pendek.
Punggung (dorsal) umumnya berwarna coklat muda zaitun
hingga abu-abu kehitaman, dengan sepasang garis yang kabur batasnya, berwarna
lebih terang kecoklatan, agak jauh di sebelah menyebelah garis tulang
punggungnya. Sisi samping badan (lateral) sebelah bawah berwarna terang
kekuningan atau keputihan, dibatasi dengan garis zigzag kehitaman di sepanjang
batas dengan sisik-sisik ventral (perut). Terkadang terlihat garis warna merah
jambu agak samar di bagian terang ini, serupa dengan pola renda memanjang. Sisi
bawah tubuh (ventral) kekuningan atau keputihan, kadang-kadang dengan
bintik-bintik atau garis samar sepanjang garis tengahnya.
Sisik-sisik dorsal tersusun dalam 21 deret. Sisik
ventral 150-177 buah, sisik anal (yang menutupi anus) sepasang/berbelah, sisik
subkaudal (sisi bawah ekor) 47-78 pasang.
Kebiasaan dan penyebaran
Bersama dengan kerabatnya, ular lumpur E. plumbea,
ular-air pelangi kerap ditemui di saluran-saluran air, kolam-kolam ikan,
lingkungan sawah, rawa dan sungai-sungai kecil yang berarus tenang. Ular-ular
ini amat gemar memangsa ikan kecil-kecil, dan seringkali menjadi hama di
kolam-kolam pemeliharaan ikan. Mangsa lainnya adalah kodok, termasuk berudunya,
dan diperkirakan juga kadal.
E. enhydris –seperti umumnya Homalopsinae– berbiak
dengan 'melahirkan' anaknya (ovovivipar). Yakni, telur berkembang sempurna dan
menetas dalam perut induknya, untuk kemudian keluar sebagai ular kecil-kecil.
E. enhydris melahirkan hingga 18 anak pada satu musimnya.
Di waktu pagi dan siang, ular-air pelangi kerap
terlihat mengeluarkan kepala dan sebagian badannya dari air, dan berdiam diri
menyerupai ranting kayu yang muncul dari dalam air. Ada kalanya beberapa ekor
ular muncul bersama dalam jarak yang tidak berapa jauh.
E. enhydris mudah ditangkap dengan jerat. Di desa-desa
di Jawa, anak-anak setempat biasa menangkapnya dengan berbekal jerat dari lidi
daun kelapa yang masih segar. Ular ini umumnya jinak dan tak mau menggigit,
sehingga kerap menjadi mainan anak-anak. Meski termasuk katagori ular berbisa
lemah (mildly venomous), hampir tak pernah ada laporan mengenai kasus
gigitannya.
Kebanyakan ular-ular marga Enhydris --sejauh ini telah
dideskripsi 23 spesies dari marga ini, termasuk jenis ular baru E. gyii
(ular-lumpur Kapuas) yang mampu berubah warna-- menyebar lokal atau terbatas.
Hanya E. enhydris dan E. plumbea yang luas agihannya.
E. enhydris diketahui tersebar luas mulai dari
Pakistan dan Nepal di barat, India, Bangladesh, Burma, Laos, Vietnam, Kamboja,
Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Borneo hingga Sulawesi di timur.
ULAR CECAK
Ular cecak atau sering pula disebut sebagai ular rumah
adalah sejenis ular kecil dari suku Colubridae. Dinamai demikian karena ular
ini kerap dijumpai di dalam rumah, di sekitar dapur atau almari, untuk memburu
cecak yang menjadi kegemarannya. Nama ilmiahnya adalah Lycodon capucinus dan
dalam bahasa Inggris dikenal sebagai common wolf-snake, merujuk pada gigi yang
memanjang menyerupai taring serigala di bagian muka rahangnya (bahasa Gerika:
lycos, serigala; don, gigi).
Pengenalan
Ular bertubuh kecil sampai sedang yang ramping dan
gesit, panjang total maksimal mendekati 60 cm. David dan Vogel (1997)
menyebutkan panjang maksimal sekitar 550 mm, dengan kisaran ukuran hewan dewasa
umumnya antara 450–500 mm.
Punggung (dorsal) berwarna coklat atau coklat agak
keunguan, dengan sebagian sisik bertepi putih membentuk pola belang (atau jala)
samar-samar seperti bekas cat yang terhapus. Kepala berwarna coklat kurma,
dengan warna putih atau keputih-putihan di bibir atas dan di tengkuk,
kadang-kadang dengan sedikit warna kuning belerang. Perut (ventral) berwarna
putih atau kekuningan.
Sisik-sisik dorsal dalam 17 deret di tengah badan dan
15 deret di dekat ekor. Sisik-sisik ventral 178–224 buah, sisik anal sepasang
atau berbelah, sisik subkaudal (di bawah ekor) 57–80 pasang. Sisik-sisik
supralabial (bibir atas) berjumlah 9 buah, no. 3–5 atau no. 4–5 menyentuh mata.
Di atas bibir, di antara sisik postnasal (hidung) dan orbit (mata) terdapat dua
buah sisik, yakni sisik loreal (pipi) dan preokular. Sisik loreal panjang dan
bersentuhan dengan sisik internasal, preokular bersentuhan dengan perisai
frontal.
Ekologi dan penyebaran
Ular cecak sering dijumpai memasuki rumah, dapur atau
bangunan lainnya, tidak jarang pula didapati di lingkungan perkotaan. Ular yang
aktif di malam hari (nokturnal) ini lebih banyak menjalar di atas tanah
(terestrial), meski pandai pula memanjat pepohonan (arboreal), tebing dan dinding
berbatu, hingga ke atap rumah. Pada siang hari, ular cecak lebih memilih tidur
bergelung di tempat persembunyiannya di bawah tumpukan kayu, batu, rekahan
tebing, atau di sudut-sudut rumah yang kelindungan.
Seperti dicerminkan oleh namanya, mangsa kesukaannya
adalah aneka jenis cecak; akan tetapi ia pun tidak menolak mangsa berupa kadal
atau tikus kecil. Ular cecak menjadi dewasa ketika berumur sekitar dua tahun.
Betinanya bertelur hingga sekitar 11 butir. Ular cecak menyebar luas mulai dari
Burma di barat, Cina tenggara, hingga Hong Kong di sebelah timurnya. Ke
selatan: Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Semenanjung Malaya
hinggaSingapura. Juga Kepulauan Andaman, Maladewa, Indonesia, Filipina, hingga
ke Kepulauan Cook di Samudera Pasifik (Australia).
Di Indonesia ular ini tercatat dijumpai di Sumatra,
Kalimantan, Jawa, Bali, Sumbawa, Sumba, Komodo, Flores, Lomblen, Alor, Sawu,
Roti, Timor, Wetar, Babar, Kalao, Selayar, Buton, danSulawesi.
Catatan lain-lain
Ular cecak agresif dan lekas menggigit apabila
terganggu atau baru ditangkap. Gigitannya lumayan menyakitkan, terutama karena
adanya ‘taring’ di rahang atas maupun bawah. Walaupun demikian ular ini tidak
berbisa, sehingga luka gigitannya hanya mengakibatkan rasa pedih dan sedikit
berdarah.
Setelah dipelihara beberapa lama dan dibiasakan, ular
cecak umumnya lekas menjadi jinak dan tidak mau menggigit. Ular ini cukup
rakus, dan mampu menghabiskan 2–3 ekor cecak dalam sehari.
Ular cecak sebelumnya dianggap sebagai anak jenis dari
ular rumah Lycodon aulicus (Linn. 1758), akan tetapi kini dipertimbangkan
sebagai jenis yang tersendiri.[6] [1] (Gr. aulicus, penghuni rumah).
ULAR GADUNG
Ular gadung adalah sejenis ular berbisa lemah yang
tidak berbahaya dari suku Colubridae. Secara umum, di wilayah Indonesia barat
ular ini disebut dengan nama ular pucuk. Nama-nama daerahnya di antaranya oray
pucuk (Sd.), ula gadung (Jw.), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai Oriental whip-snake.
Disebut ular gadung karena ular ini sepintas
menyerupai pucuk tanaman gadung (Dioscorea hispida) yang hijau lampai.
Pemerian
Ular berwarna hijau, panjang dan amat ramping.
Terkadang ada pula yang berwarna coklat kekuningan atau krem atau keputihan,
terutama pada hewan muda. Panjang tubuh keseluruhan mencapai 2 m, meski
kebanyakan sekitar 1,5 m atau lebih; lebih dari sepertiganya adalah ekornya
yang kurus seperti cambuk.
Kepala panjang meruncing di moncong, jelas lebih besar
daripada leher yang kurus bulat seperti ranting hijau. Mata besar, kuning,
dengan celah mata (pupil) mendatar. Panjang moncong sekurangnya dua kali
panjang mata. Pipi dengan lekukan serupa saluran horizontal ke arah hidung,
memungkinkan mata melihat dengan pandangan stereoskopik dan memperkirakan
lokasi mangsa dengan lebih tepat.
Sisi atas tubuh (dorsal) hijau terang atau hijau agak
muda, merata hingga ke ekor yang biasanya sedikit lebih gelap. Terkadang, bila
merasa terusik, ular pucuk atau biasa disebut ular gadung pari (nama lain di
jawa tengah)akan melebarkan, memipihkan dan melipat lehernya serupa huruf S,
sehingga muncul warna peringatan berupa belang-belang putih dan hitam pada
kulit di bawah sisiknya. Sisi bawah tubuh (ventral) hijau pucat keputihan,
dengan garis tipis kuning keputihan di sepanjang tepi bawah tubuh
(ventrolateral).
Perisai (sisik-sisik besar) di bibir atas
(supralabial) 8-9 buah, yang nomor 4 sampai 6 menyentuh mata. Sisik-sisik
dorsal dalam 15 deret, 13 deret di dekat ekor. Sisik-sisik ventral 189-241
buah; sisik anal berbelah, jarang tunggal; sisik-sisik subkaudal 169-183 buah
(Tweedie 1983: 154-207 buah).
Kebiasaan
Ular yang sering terlihat atau didapati di pekarangan,
kebun, semak belukar dan hutan. Senang berada di tajuk pepohonan dan semak,
ular gadung tidak jarang terlihat menjalar di atas tanah, rerumputan, atau
bahkan menyeberangi jalan. Terkadang ular ini terlihat menjulurkan kepalanya di
antara dedaunan, dan sesekali bergoyang seolah sulur-suluran tertiup angin.
Ular gadung aktif di siang hari (diurnal), memburu
aneka hewan yang menjadi mangsanya; seperti kodok, cecak dan bunglon, serta
aneka jenis kadal. Bahkan juga burung kecil dan mamalia kecil.
Seperti banyak jenis ular pohon, ular gadung bersifat
ovovivipar. Telurnya menetas di dalam rahim dan keluar sebagai anak sepanjang
kurang-lebih 20 cm. Sekali beranak jumlahnya mencapai 9 ekor.
Di Sumatra, ular ini ditemui mulai dari dekat pantai
hingga ketinggian 1300 m dpl.
Sub spesis
Ada empat anak jenis (subspesies) dari Ahaetulla
prasina, yakni:
·
A.p. prasina (Boie, 1827). Menyebar luas mulai dari
India di barat, Bangladesh, ke timur hingga Tiongkok (Hong Kong), ke selatan
melewati Burma, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaya, dan Singapore. Di
Indonesia menyebar di pulau-pulau Sumatra (termasuk Simeulue, Nias, Mentawai,
Riau, Bangka dan Belitung), Borneo (termasuk Natuna dan Sebuku), Sulawesi
(termasuk Buton, Kepulauan Sula dan Sangihe), Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan
Ternate.
·
A.p. preocularis (Taylor, 1922), menyebar di Filipina,
termasuk di Luzon, Panay dan kepulauan Sulu.
·
A.p. suluensis (Gaulke, 1994), menyebar di kepulauan
Sulu, Filipina.
·
A.p. medioxima Lazell, 2002.
Daya bisa
Ular gadung termasuk mudah ditangkap dan mudah
dijinakkan. Ketika baru tertangkap, biasanya ular ini lebih agresif dan mudah
terprovokasi. Memipihkan lehernya dan menampakkan warna-warna peringatannya,
ular gadung akan mencoba menggigit penangkapnya. Namun dengan penanganan yang
lemah lembut dan hati-hati, umumnya ular gadung dapat segera ditenangkan.
Bisa ular ini termasuk kategori menengah, dan dapat
membunuh seekor burung pipit dalam waktu beberapa menit saja. Akan tetapi
sejauh ini diketahui tidak membahayakan manusia. Dampak gigitan bervariasi
mulai dari luka gigitan kecil yang sedikit pedih, atau agak gatal, sampai ke
pembengkakan ringan disertai sedikit rasa pegal. Secara tradisional, luka ini
biasanya diolesi madu, atau diberi antiseptik seperti larutan yodium untuk
mencegah infeksi.
ULAR TAMBANG
Ular tambang (Dendrelaphis pictus) adalah sejenis ular
kecil dari suku Colubridae. Secara umum, ular ini juga disebut dengan nama ular
tali, ular tampar atau ular tlampar (tampar atau tlampar Jw., tali). Di daerah
Toraja ular ini dinamai duwata atau ule lewora.[1] Dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai Gmelin’s Bronzeback atau Painted Bronzeback, merujuk pada
warna-warnanya yang cemerlang (pictus, painted, = seperti lukisan).
Ular tambang menyebar luas mulai dari India sampai ke
Asia Tenggara, termasuk Kepulauan Nusantara ke timur hingga sejauh Maluku.
Pengenalan
Ular yang kurus ramping, panjang hingga sekitar 1,5 m;
meskipun pada umumnya kurang dari itu. Ekornya panjang, mencapai sepertiga dari
panjang tubuh keseluruhan.
Coklat zaitun seperti logam perunggu di bagian
punggung. Pada masing-masing sisi tubuh bagian bawah terdapat pita tipis kuning
terang keputihan, dipisahkan dari sisik ventral (perut) yang sewarna oleh
sebuah garis hitam tipis memanjang hingga ke ekor. Kepala kecoklatan perunggu
di sebelah atas, dan kuning terang di bibir dan dagu; diantarai oleh coret
hitam mulai dari pipi yang melintasi mata dan melebar di pelipis belakang,
kemudian terpecah menjadi noktah-noktah besar dan mengabur di leher bagian
belakang. Terdapat warna-warna peringatan berupa bintik-bintik hijau terang
kebiruan di bagian leher hingga tubuh bagian muka, yang biasanya tersembunyi di
bawah sisik-sisik hitam atau perunggu dan baru nampak jelas apabila si ular
merasa terancam. Sisik-sisik ventral putih kekuningan atau kehijauan.
Sisik-sisik dorsal dalam 15 deret di bagian tengah
tubuh; sisik-sisik vertebral membesar, namun tak lebih besar dari deret sisik
dorsal yang pertama (terbawah). Perisai labial 9 buah (jarang 8 atau 10), yang
no 5 dan 6 (kadang-kadang juga yang no 4) menyentuh mata. Sisik-sisik ventral
167–200 buah, sisik anal sepasang, sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 127–164
buah.
Mata besar, diameternya sama panjang dengan jaraknya
ke lubang hidung. Anak mata bulat hitam; perisai preokular sebuah dan
postokular dua buah. Perisai rostral lebar, terlihat dari sebelah atas; perisai
internasal sama panjang atau sedikit lebih pendek dari perisai prefrontal;
perisai frontal sama panjang dengan jaraknya ke ujung moncong, namun lebih
pendek dari perisai parietal; perisai loreal panjang. Perisai temporal bersusun
2 + 2, 1 + 1 atau 1 + 2. Lidahnya berwarna merah.
Kebiasaan
Ular yang hidup di pohon, namun sering pula turun ke
tanah untuk memangsa katak atau kadal yang menjadi menu utamanya. Tidak jarang
terlihat bergelung di semak-semak atau menjalar di antara rumput-rumput yang
tinggi.
Ular tambang menghuni hutan-hutan di dataran rendah
dan pegunungan hingga ketinggian lebih dari 1350 m. Teristimewa ular ini
menyukai daerah-daerah terbuka, tepian hutan, kebun, wanatani campuran, belukar
dan tepi sawah.Sering pula ditemukan merambat di pagar tanaman di pekarangan,
dan dengan gesit dan tangkas bergerak di sela-sela daun dan ranting untuk
menghindari manusia.
Sub Spesis
Dendrelaphis pictus memiliki beberapa anak jenis. Di
antaranya:
·
D. p. pictus yang menyebar luas mulai dari India,
Nepal, Bangladesh, Burma, Cina selatan (Hong Kong, Hainan), Vietnam, Thailand,
Kamboja, Laos, Semenanjung Malaya, Singapura, Kep. Filipina, dan Indonesia
(Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau di
sekitarnya).
·
D. p. andamanensis; menyebar terbatas (?) di Kep.
Andaman, India.
·
D. p. intermedius; menyebar terbatas (endemik) di
Sumbawa, Komodo (pulau), Padar, Rinca, dan Flores
·
D. p. inornatus; menyebar terbatas di Sumba, Rote,
Sawu, Timor, Alor, dan Wetar
·
Beberapa peneliti menganggap bahwa anak jenis
intermedius adalah sinonim dari inornatus.
ULAR BIRANG
Ular birang (Oligodon octolineatus) adalah
sejenis ular yang bertubuh kecil, anggota suku Colubridae. Ular ini juga
dikenal sebagai ular pitar atau dalam bahasa Inggris, Striped Kukri Snake.
Identifikasi
Ular birang adalah sejenis ular yang cantik. Warnanya
kecoklatan dengan 3-4 pasang garis atau pita hitam memanjang, yang paling atas
paling tebal (octolineatus berarti: dengan delapan garis). Pita jingga atau
merah terang metalik berjalan tepat di atas tulang punggungnya (vertebrae)
hingga ke ekor, yang merupakan ciri khas ular ini]. Demikian pula pola coreng
simetris kehitaman di atas kepalanya, yang menjadi pertanda kebanyakan marga
Oligodon.
Sisi bawah tubuh putih di sebelah depan (anterior) dan
kemerahan sampai merah jambu di bawah ekor. Panjang tubuh hingga sekitar 70 cm
Sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 17 deret. Sisik
ventral (perut) berjumlah 155-197, sisik anal tunggal, dan sisik subkaudal
antara 43-61 pasang. Sisik bibir atas (supralabial) 6 pasang, yang ke-3 dan
ke-4 menyentuh mata.
Dinamai juga ular kukri dalam bahasa Inggris,
berdasarkan bentuk taringnya yang terletak di mulut bagian belakang. Kukri
adalah pisau khas yang biasa digunakan tentara Gurkha.
Kebiasaan dan penyebaran
Kerap kali ditemui di dataran rendah, ular birang
diketahui hidup hingga ketinggian 1.000 m dpl. Habitatnya meliputi hutan, kebun
atau taman, kebanyakan ular kecil ini aktif di malam hari (nokturnal). Di
wilayah sebarannya, ular ini sering terlihat menyeberangi jalan aspal yang
hangat di malam hari.
Ular ini memangsa kecebong, kodok, kadal, dan juga
ular lain; serta telur-telur burung, kadal dan kodok. Ular birang bertelur
hingga 4-5 butir sekali.
Ular birang termasuk jinak, tidak suka menggigit jika
ditangkap atau dipegang dengan hati-hati. Bila merasa terganggu, ia
mengeluarkan semacam bau tidak enak dari pangkal ekornya. Terkadang untuk
menghindari gangguan, ular ini menyembunyikan kepalanya di bawah badannya yang
bergelung dan memperlihatkan sisi bawah ekornya yang kemerahan.
Ular birang menyebar di Semenanjung Malaya, Singapura,
Sumatra, Nias, Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Jawa, Sulawesi, Kalimantan[2]
(termasuk Sarawak, Sabah, Brunei), dan jugaSulu
ULAR TIKUS / ULAR JALI
Ular jali adalah sejenis ular pemakan tikus yang
rakus, karena itu kerap disebut pula sebagai ular tikus. Namanya dalam bahasa
lain adalah oray lingas (Sd.), ula jali, ula koros atau ula kayu (Jw.), dan
Indo-Chinese rat snake (Ingg.). Nama ilmiahnya adalah Ptyas korros (Schlegel,
1837).
Selain ular jali, ada beberapa jenis lain yang juga dijuluki
'ular tikus'. Di antaranya adalah ular babi (Elaphe flavolineata), ular sapi
(Elaphe radiata) dan ular hijau ekor coklat (Gonyosoma oxycephalum). Kesemuanya
adalah pemburu tikus yang efektif di sawah-sawah, pekarangan rumah, bahkan
sering hingga masuk ke atap rumah.
Ular jali menyebar luas mulai dari India, Bangladesh,
Tiongkok (termasuk Hainan dan Hong Kong), Taiwan, Myanmar, Laos, Kamboja,
Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatra, Jawa dan Bali; serta
Borneo.
Deskripsi tubuh
Ular jali bertubuh cukup besar, hingga 2 meter
panjangnya. Sisi atas tubuh (dorsal) berwarna coklat muda kekuningan hingga
abu-abu kehitaman. Bagian sebelah depan (anterior) biasanya berwarna lebih
terang dari ekornya yang kehitaman. Sisik-sisik di atas ekor bertepi hitam,
sehingga terkesan bergaris-garis seperti memakai stocking hitam.
Sisi bawah tubuh (ventral) berwarna kekuningan sampai
kuning terang. Matanya berukuran besar. Kerabatnya yang mirip adalah Ptyas
mucosus; dibedakan dengan adanya loreng-loreng hitam di bibirnya dan di tubuh
bagian belakang. P. mucosus umumnya juga bertubuh lebih besar, hingga lebih
dari 3 m panjangnya.
ULAR SERASAH
Ular serasah adalah sejenis ular yang tidak berbisa.
Nama ilmiahnya adalah Sibynophis geminatus (Boie, 1826). Namanya dalam bahasa
Inggris adalah collared snake atau striped litter snake. Panjang tubuh
keseluruhan umumnya sekitar 50cm, namun ada pula yang melebihi 60cm. Kepala dan
badan hampir tidak berbeda, sehingga bentuknya mirip pensil panjang atau tombak
kecil (sybin = tombak, ophis = ular).
Identifikasi
Ciri utamanya terletak pada kalung tebal berwarna
kuning jingga di tengkuk, dengan sepasang pita kuning agak jingga kecoklatan
yang membujur di punggungnya (geminatus = berpasangan). Warna punggung
selebihnya coklat tua kemerahan, dengan garis hitam halus putus-putus di antara
warna coklat dengan pita kuning. Kepala coklat muda, dengan bibir atas berwarna
putih menyolok.
Sisi bawah tubuh (ventral) kuning di bawah leher,
kuning muda sampai putih kehijauan di sebelah belakang; dengan bercak-bercak
hitam beraturan di batas lateral. Iris mata berwarna kekuningan.
Bagi yang tidak mengenalnya, ular ini kerap
dikelirukan dengan ular cabai (Maticora intestinalis) yang berbisa, yang hampir
sama besarnya. Padahal ular serasah selain tidak berbisa juga jinak, tidak mau
menggigit.
Sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 17 deret. Sisik
ventral berjumlah 144-180, sisik anal berbelah, dan sisik subkaudal antara
73-96 pasang. Sisik bibir atas (supralabial) 8 pasang, yang ke-3 sampai ke-5
menyentuh mata. (Stuebing and Inger, 1999).
Kebiasaan dan Penyebaran
Seperti namanya, ular ini kerap menyusup-nyusup
serasah atau rerumputan sehingga jarang teramati. Tempat yang disukainya adalah
wilayah berpohon-pohon atau berumpun bambu tidak jauh dari aliran sungai. Namun
di Darmaga, Bogor, ular ini didapati pula di sekitar gedung kampus dan di
lingkungan perumahan.
Tidak banyak yang diketahui mengenai kebiasaan ular
ini selain bahwa ia aktif di siang hari (diurnal). David dan Vogel (1996) menyebutkan
bahwa nampaknya ular ini terutama memangsa jenis-jenis kadal.
Ular ini tercatat ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali,
Lombok, Sarawak dan Sabah; kemungkinan terdapat pula di bagian lain pulau
Kalimantan.
Jenis Yang Berkerabat
Ular serasah kepala hitam (Sibynophis melanocephalus)
memiliki sepasang pita di sepanjang tubuhnya, yang putus-putus oleh
belang-belang gelap atau dengan bintik-bintik besar berwarna gelap. Kepala
dihiasi dengan bintik-bintik terang, dan tidak memiliki kalung berwarna terang
di tengkuknya.
Kebiasaan hidup dan konservasi
Ular jali kerap ditemui di sawah-sawah, kebun dan
pekarangan, dan terutama dekat tepi sungai. Mangsa utamanya adalah hewan
pengerat, terutama tikus. Namun iapun tidak menolak mangsa yang lain semisal
kadal dan kodok. Ular jali aktif di pagi hingga sore hari, berkeliaran mencari
mangsa di atas tanah. Ia juga pandai memanjat pohon dan semak, walaupun jarang
memanjat hingga tinggi.
Karena berbisa lemah, ular ini sebetulnya tidak suka
menggigit dan mudah dijinakkan sehingga cocok dijadikan hewan timangan (pet
animal). Para petani yang mengenalinya biasanya melarang anak-anaknya
mengganggu ular ini, dan membiarkannya berkeliaran di sekitar rumah. Ular jali
termasuk pemburu tikus yang efektif.
Kini ular jali termasuk salah satu jenis ular yang
banyak diburu untuk diambil kulitnya yang berharga. Ribuan ekor ular ini setiap
bulannya ditangkapi dan diekspor kulitnya. Kadang-kadang bahkan ular ini
dikirim hidup-hidup. Menghilangnya ular jali dan beberapa jenis ular pemakan tikus
lainnya dari persawahan dan pekarangan, dipercaya meningkatkan populasi tikus
yang menjadi hama sawah. Karena itu, semenjak beberapa tahun silam, di
Yogyakarta berlangsung gerakan melepaskan ular ke sawah. Aksi yang dilakukan
petani ini (terutama di Kabupaten Sleman) diharapkan dapat mengendalikan
populasi tikus di desanya.
ULAR PICUNG
Ular picung adalah sejenis ular dari suku Colubridae.
Nama ini berasal dari panggilannya dalam bahasa Sunda, oray picung, merujuk
pada warna merah di tengkuknya yang mengingatkan orang pada warna buah picung
(Pangium edule). Dalam bahasa Jawa ular ini dikenal sebagai wedudak srengéngé
(ular beludak matahari) karena warna tengkuknya itu menyerupai cahaya matahari
di pagi hari. Karena itu pula, dalam bahasa Inggris dinamai Red-necked
Keelback. Sementara nama ilmiahnya adalah Rhabdophis subminiatus (Schlegel,
1837).
Pemerian
Ular yang bertubuh kecil ramping. Panjang tubuh
maksimal mencapai 130 cm pada ras-ras utara, namun ras Sumatra hanya mencapai
panjang 80 cm dan umumnya sekitar 60 cm saja (David and Vogel, 1996).
Kepala hewan dewasa berwarna hijau batu (hijau zaitun
gelap) di sisi atas, dengan warna kuning dan merah terang di belakangnya sampai
ke tengkuk. Bibir berwarna kuning atau kekuningan, dengan coret hitam serupa
koma di bawah mata (pada sisik labial no 5 dan 6), dan mungkin pula terdapat
beberapa bintik hitam pada sisik-sisik labial di mukanya. Pada hewan muda,
terdapat sebuah pola hitam di belakang kepala di depan warna kuning di atas
leher.
Dorsal (sisi atas tubuh) kecoklatan atau coklat
zaitun, merata atau dengan pola-pola hitam dan kuning muda serupa jala. Sisi
ventral (bawah tubuh) berwarna kekuningan, dengan bintik-bintik hitam pada tepi
sisik ventral.
Sisik-sisik dorsal dalam 19 deret, semua berlunas kuat
kecuali satu deret terbawah. Sisik-sisik ventral 132-175 buah, sisik anal
(penutup anus) berpasangan, sisik-sisik subkaudal (di bawah ekor) 65-87 pasang.
Perisai labial (bibir) atas berjumlah 8 buah, yang
ke-3 hingga ke-5 menyentuh mata. Dua buah sisik anterior temporal terdapat di
masing-masing sisi kepala. Lubang hidung mengarah ke samping.
Ekologi dan Penyebaran
Ular picung merupakan ular daratan yang hidup tidak
jauh dari perairan. Ia menghuni hutan-hutan hujan dataran rendah hingga hutan
pegunungan bawah sampai ketinggian sekitar 1200 m dpl., namun paling sering
ditemukan di hutan sekunder, belukar serta lingkungan pertanian dan pemukiman
di sekitarnya. Ular picung terutama menyukai lingkungan dekat sungai, saliran,
rawa, sawah dan kolam, di mana ular ini dapat berenang dengan baik.
Ular ini juga sering didapati di antara rerumputan
atau herba tepi air yang lebat, memburu kodok, berudu dan ikan kecil-kecil. Di
Jawa, ular ini kerap ditemui menjalar di pekarangan dan dihalaman rumah di
pedesaan.
Ular picung bertelur hingga 14 butir.
Ular picung menyebar luas mulai dari India (Assam ?,
Sikkim; Arunachal Pradesh), Nepal, Bhutan, Bangladesh, China (Yunnan, Guangxi,
Guangdong, Fujian, Hong Kong, Hainan), Burma, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Sulawesi ?). Stuebing and
Inger (1999) tidak mencantumkannya dalam daftar ular Borneo, demikian pula
David and Vogel (1996).
Ras
R.s. subminiatus (ras selatan) menyebar di Burma,
China (Hainan saja), Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Sumatra,
Jawa dan Kalimantan.
R.s. helleri (ras utara) menyebar di India, Nepal,
China, Hong Kong, Bangladesh, Burma, Laos, Thailand dan Vietnam utara.
Lokasi tipe: “Java”
Ular yang berbahaya
Ular picung umumnya dikenal sebagai ular yang tak
berbahaya, atau berbisa lemah. Sebagaimana umumnya anggota suku Colubridae,
taring ular ini terletak di rahang atas bagian belakang dan berukuran kecil
saja. Oleh karena warnanya yang cemerlang, ular ini kerap dipelihara orang dan
dijadikan hewan timangan (pet).
Meskipun mudah jinak, ular ini sukar diperkirakan
sifatnya dan tiba-tiba saja dapat menggigit pemeliharanya tanpa tanda-tanda
khusus. Kebanyakan gigitan ular ini agaknya tidak menimbulkan gejala-gejala
keracunan. Namun demikian ada kasus-kasus tertentu di mana terjadi kehilangan
total terhadap system pembekuan darah oleh karena bisa ular ini.
Bisa ular picung menimbulkan efek yang dapat
membahayakan jiwa korban, yakni berupa menurunnya kemampuan pembekuan darah
sehingga terjadi pendarahan pada organ-organ dalam tubuh. Beberapa korban
memerlukan perawatan serius di rumah sakit untuk memulihkan sistem peredaran
darahnya yang terganggu oleh bisa (Seow dkk., 2000).
Diyakini bahwa kasus semacam ini cukup banyak terjadi
dan sudah tercatat dengan baik di berberapa negara termasuk Singapura dan A.S.
Oleh sebab itu, beberapa kalangan menganjurkan agar ular ini dikategorikan
sebagai ular yang berbahaya atau yang harus ditangani secara amat hati-hati.
ULAR KISIK
Ular kisik adalah sejenis ular dari suku Colubridae.
Dalam bahasa Jawa ular ini dikenal sebagai ula lare-angon (ular anak gembala)
karena ular yang jinak ini biasa menjadi permainan anak-anak gembala di Jawa
Tengah. Namanya dalam bahasa Inggris adalah striped keelback, merujuk pada garis-garis
memanjang dan bentuk sisik-sisik punggungnya yang berlunas (keeled). Nama
ilmiahnya adalah Xenochrophis vittatus (Linnaeus, 1758).
Pemerian
Ular kisik umumnya bertubuh kecil ramping. Panjang
tubuh maksimal mencapai 70 cm, namun umumnya hanya sekitar 50 cm. Ekornya
sekitar seperempat dari seluruh panjang tubuhnya.
Kepala berwarna hitam di bagian atas, dengan
coret-coret putih yang berpola simetris. Moncong agak kemerahan seperti warna
daging. Dorsal (sisi atas tubuh) dengan sepasang pita coklat kuning keemasan di
atas warna hitam. Di bagian muka (anterior) masing-masing pita ini terbagi lagi
oleh garis hitam tipis. Sisi ventral (bawah tubuh) berwarna putih, dengan
garis-garis hitam pada tepi sisik ventral yang memberikan kesan warna lorek.
Sisik-sisik dorsal dalam 19 (19-19-17) deret, berlunas
kecuali satu-dua deret terbawah. Sisik-sisik ventral sekitar 149 buah, sisik
anal (penutup anus) berpasangan, sisik-sisik subkaudal (di bawah ekor) 80
pasang.
Perisai labial (bibir) atas berjumlah 9 buah, yang ke-4
hingga ke-6 menyentuh mata, putih dengan tepi belakang berwarna hitam. Labial
bawah 10, no 4-7 membesar. Sebuah sisik anterior temporal terdapat di
masing-masing sisi kepala. Lubang hidung mengarah ke samping.
Ekologi dan Penyebaran
Ular kisik merupakan ular darat yang hidup tidak jauh
dari perairan. Ia menghuni hutan-hutan hujan dataran rendah hingga hutan
pegunungan bawah sampai ketinggian sekitar 1200 m dpl., serta lingkungan
pertanian dan pemukiman di sekitarnya. Ular kisik terutama menyukai lingkungan
dekat sungai, saliran, rawa, sawah dan kolam, di mana ular ini dapat berenang
dengan baik.
Ia sering didapati menyelusup di antara rerumputan
atau herba tepi air yang lebat, memburu kodok, berudu dan ikan kecil-kecil.
Tidak jarang, pada saat matahari terbit ular ini telah terlihat menjalar di
antara tanaman padi di sawah. Ular kisik juga kerap berkeliaran di pekarangan
dan halaman rumah, terutama dekat genangan air.
Ular ini tidak seberapa takut dengan manusia.
Anak-anak di pedesaan di Banyumas sering menangkapnya untuk dijadikan permainan
karena ular ini tidak menggigit. Hanya saja, apabila merasa terganggu, ular
kisik mengeluarkan bau tidak enak yang keras dari kelenjar di dekat anusnya.
Apabila terjadi demikian, biasanya ular ini segera dilepaskan kembali oleh
anak-anak tersebut.
Ular kisik terbatas menyebar di Sumatra, termasuk
beberapa pulau di sekitarnya seperti Pulau We dan Bangka dan Jawa. Diintroduksi
ke Singapura.
Ular kisik bertelur hingga delapan butir.
ULAR ANANG
Ular anang atau lanang (Ophiophagus hannah) adalah
ular berbisa terpanjang di dunia dengan panjang tubuh keseluruhan mencapai
sekitar 5,7 m.Akan tetapi panjang hewan dewasa pada umumnya hanya sekitar 3 –
4,5 m saja. Ular ini ditakuti orang karena bisanya yang mematikan dan sifat-sifatnya
yang terkenal agresif, meskipun banyak catatan yang menunjukkan perilaku yang
sebaliknya.
Ular anang juga dikenal dengan beberapa nama lokal
seperti oray totog (Sd.), ular tedung abu, tedung selor (Kal.) dan lain-lain.
Dalam bahasa Inggris disebut king cobra (raja kobra) atau hamadryad.
Pengenalan
Ular yang bertubuh panjang dan ramping. Sebuah laporan
dari Singapura mencatat seekor ular anang sepanjang hampir 4,8 m memiliki berat
tubuh hingga 12 kg. Ular jantan cenderung lebih panjang dan besar jika
dibandingkan dengan yang betina.Coklat kekuningan, coklat zaitun, sampai
keabu-abuan di bagian atas (dorsal) tubuh, dengan bagian kepala yang cenderung
berwarna lebih terang. Sisik-sisik bertepi gelap atau kehitaman, nampak jelas
di bagian kepala. Sisik-sisik bawah tubuh (ventral) berwarna keabu-abuan atau
kecoklatan, kecuali dada dan leher berwarna kuning cerah atau krem dengan pola
belang hitam tak teratur, yang nampak jelas apabila ular ini mengangkat dan
membentangkan lehernya. Ular yang masih kecil berwarna lebih gelap atau
kehitaman, dengan bintik-bintik putih atau kuning yang membentuk belang (garis)
melintang, belang ini masih nampak samar-samar pada sebagian individu dewasa.
Anak ular ini berkepala hitam dengan empat garis putih melintang di atasnya.
Kepalanya besar dengan moncong yang relatif pendek dan
tumpul. Di belakang perisai parietal (ubun-ubun), yang pada ular lain biasanya
berupa sisik-sisik kecil, pada ular anang ditempati oleh sepasang perisai
oksipital yang besar. Perisai labial (bibir) atas 7 buah, no-3 dan -4 menyentuh
mata. Pupil mata bundar dan besar. Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret
di tengah badan. Sisik-sisik ventral (perut) 215–262 buah, sisik anal tunggal,
sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 80–120 buah; yang sebelah depan tunggal dan
di bagian belakang berpasangan.
Jenis yang serupa
Ular-sapi besar (Zaocys carinatus) memiliki bentuk
tubuh dan warna yang mirip ular anang. Di lapangan, kedua macam ular ini mudah
terkelirukan, kecuali apabila ular anang tengah menegakkan lehernya.
Penyebaran, habitat dan kebiasaan
Ular anang menyebar mulai dari India di barat, Bhutan,
Bangladesh, Burma, Kamboja, Cina selatan, Laos, Thailand, Vietnam, Semenanjung
Malaya, Kepulauan Andaman, Indonesia dan Filipina. Di Indonesia ular ini ditemukan
di Sumatra, Kep. Mentawai, Kep. Riau, Bangka, Borneo, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
Ular anang didapati mulai dari dekat pantai hingga
ketinggian sekurang-kurangnya 1.800 m dpl. Ular ini menghuni aneka habitat,
mulai dari hutan dataran rendah, rawa-rawa, wilayah semak belukar, hutan
pegunungan, lahan pertanian, ladang tua, perkebunan, persawahan, dan lingkungan
pemukiman. Ular yang lincah dan gesit ini biasa bersembunyi di bawah lindungan
semak yang padat, lubang-lubang di akar atau batang pohon, lubang tanah, di
bawah tumpukan batu, atau di rekahan karang.
Mangsa
Sebagaimana namanya (Ophiophagus berarti pemakan
ular), mangsa utamanya adalah jenis-jenis ular yang berukuran relatif besar,
seperti sanca (Python) atau ular tikus (Ptyas). Juga memangsa ular-ular yang
berbisa lainnya dan kadal berukuran besar seperti halnya biawak. Ular anang
yang dikurung mau juga memakan daging atau tikus mati yang ditaruh di kandang
ular atau digosokkan ke tubuh ular agar berbau seperti ular.Setelah menelan
mangsa yang besar, ular anang dapat hidup beberapa bulan lamanya tanpa makan
lagi. Ini dikarenakan lajumetabolismenya berlangsung lambat.
Ular anang berburu dengan mengandalkan penglihatan dan
penciumannya. Sebagaimana ular-ular pada umumnya, ular anang membaui udara dengan
menggunakan lidahnya yang bercabang, yang menangkap partikel-partikel bau di
udara dan membawanya ke reseptor khusus di langit-langit mulutnya. Reseptor
yang sensitif terhadap bau ini disebut organ Jacobson.Jika tercium bau
mangsanya, ular ini akan menggetarkan lidahnya dan menariknya keluar masuk
untuk memperkirakan arah dan letak mangsanya itu. Matanya yang tajam (ular
anang dapat melihat mangsanya dari jarak sejauh 100 m), indera perasa getaran
di tubuhnya yang melata di tanah, dan naluri serta kecerdasannya sangat
membantu untuk menemukan mangsanya.Ular ini dapat bergerak cepat di atas tanah
dan memanjat pohon dengan sama baiknya. Mangsanya, jika perlu, dikejarnya
hingga di atas pohon.
Ular anang berburu baik pada siang maupun malam, akan
tetapi jarang terlihat aktif di malam hari. Kebanyakan herpetologis
menganggapnya sebagai hewan diurnal. Sebagaimana ular kobrayang lain, apabila
merasa terancam dan tersudut ular anang akan menegakkan lehernya serta
mengembangkan tulang rusuknya sehingga kurang lebih sepertiga bagian muka
tubuhnya berdiri tegak dan memipih serupa spatula. Sekaligus, posisi ini akan
menampakkan warna kuning dan coret hitam di dadanya, sebagai peringatan bagi
musuhnya. Melihat postur tubuhnya ini dan gerakannya yang gesit tangkas, orang
umumnya merasa takut dan menganggapnya sebagai ular yang agresif serta
berbahaya, yang dapat menyerang setiap saat. Pandangan ini, menurut para
herpetolog, terlalu dilebih-lebihkan dan hanya benar sebagian.
Kebanyakan ular anang, seperti umumnya hewan, takut
terhadap manusia dan berusaha menghindarinya. Ular ini juga tidak seketika
menyerang manusia yang ditemuinya, tanpa ada provokasi sebelumnya. Kenyataan
bahwa ular ini cukup banyak yang ditemui di sekitar permukiman manusia,
sementara jarang orang yang tergigit olehnya, menunjukkan bahwa ular anang tak
seagresif seperti yang disangka. Walaupun demikian, kewaspadaan tinggi tetap
diperlukan apabila menghadapi ular ini. Ular anang dikenal sebagai ular yang
amat berbisa, yang gigitannya dapat membunuh manusia. Seperti juga ular-ular
lainnya, temperamen ular ini sukar diduga. Beberapa individunya bisa jadi lebih
agresif daripada yang lainnya.[Demikian pula, pada masa-masa tertentu seperti
pada saat menjaga telur-telurnya, ular ini dapat berubah menjadi lebih sensitif
dan agresif. Telah dilaporkan adanya serangan-serangan ular anang terhadap
orang yang melintas terlalu dekat ke sarangnya.
Perbiakan
Ular anang bertelur sekitar 20–50 butir, yang
diletakkannya di dalam sebuah sarang penetasan terbuat dari timbunan serasah
dedaunan. Sarang ini terdiri dari dua ruangan, di mana ruang yang bawah
digunakan untuk meletakkan telur dan ruang yang atas dihuni oleh induk betina
yang menjaga telur-telur itu hingga menetas. Di India, ular ini bertelur
sekitar bulan April hingga Juli. Telur-telurnya berukuran sekitar 59 x 34 mm,
yang sedikit bertambah besar dan berat selama masa inkubasi. Telur-telur ini
menetas setelah 71–80 hari, dan anak-anak ular yang keluar memiliki panjang
tubuh antara 50–52 cm
Bisa ular anang
Bisa ular anang terutama tersusun dari protein dan
polipeptida, yang dihasilkan dari kelenjar ludah yang telah berubah fungsi,
yang terletak di belakang mata. Tatkala menggigit mangsanya, bisa ini tersalur
melalui taring sepanjang sekitar 8–10 mm yang menancap di daging mangsanya.
Meskipun racun ini dianggap tak sekuat bisa beberapa ular yang lain, ular anang
sanggup mengeluarkan jumlah bisa yang jauh lebih besar dari ular-ular lainnya.
Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa satu kali gigitan ular ini dapat mengeluarkan
sejumlah bisa yang cukup untuk membunuh 10 orang. Beruntunglah bahwa kebanyakan
gigitan ular ini pada manusia hanya memasukkan bisa dalam jumlah yang tidak
fatal.
Bisa ular ini bersifat neurotoksin, yakni menyerang
sistem saraf korbannya, serta dengan cepat menimbulkan rasa sakit yang amat
sangat, pandangan yang mengabur, vertigo, dan kelumpuhan otot. Pada saat-saat
berikutnya, korban akan mengalami kegagalan sistem kardiovaskular, dan
selanjutnya kematian dapat timbul akibat kelumpuhan sistem pernapasan. Apabila
bisa telah masuk dalam jumlah yang cukup, kematian hanya dapat dicegah dengan
penanganan serta pemberian antivenin (antibisa) yang tepat dan cepat.
Ular anang dan manusia
Meskipun ular anang memiliki bisa yang mematikan dan
kehadirannya ditakuti banyak orang, ia sebenarnya adalah hewan pemalu yang
sedapat-dapatnya menghindari pertemuan dengan manusia.
Di wilayah sebarannya, masih ada beberapa jenis ular
berbisa lainnya yang gigitannya lebih fatal dan lebih banyak memakan korban, di
antaranya adalah ular kobra kaca-tunggal (Naja kaouthia), bandotan puspa
(Vipera russelli), dan ular welang (Bungarus fasciatus)
Di Burma, ular anang kerap digunakan dalam pertunjukan
pawang ular perempuan. Wanita pawang ular itu biasanya memiliki tato yang dibuat
menggunakan tinta bercampur bisa ular, yang diyakini akan melindungi dirinya
dari ularnya itu. Di akhir pertunjukannya, secepat kilat si pawang akan mencium
ubun-ubun ular berbisa yang tengah menegakkan leher dan tudungnya ini.
Kini populasi ular anang di banyak tempat telah
terganggu oleh kerusakan habitatnya, terutama oleh hilangnya hutan-hutan yang
biasa dihuninya. Meskipun ular ini oleh IUCN belum dimasukkan ke dalam hewan
yang terancam kepunahan, CITES telah memandang perlu untuk mengawasi perdagangannya
dan memasukkannya ke dalam Apendiks II.
ULAR WELANG
Welang (Bungarus fasciatus) adalah nama sejenis ular
berbisa anggota suku Elapidae. Umum biasa menyebutnya sebagai ular belang
(Ind.) atau oray belang (Sd.), nama yang sedikit banyak menyesatkan karena
digunakan pula untuk menyebut ular lain yang serupa dan berkerabat dekat: ular
weling (Bungarus candidus).
Kedua ular ini memang mirip bentuk dan warnanya. Nama
welang dan weling (dari bahasa Jawa) menunjuk kepada pola belang hitam-putih
(atau hitam-kuning) yang berlainan. Pada ular welang, belang hitamnya utuh
berupa cincin dari punggung hingga ke perut; sedangkan pada ular weling belang
hitamnya hanya sekedar selang-seling warna di bagian punggung (dorsal),
sementara perutnya (ventral) seluruhnya berwarna putih.
Dalam bahasa Inggris, ular welang dikenal sebagai
Banded Krait. Sementara nama ilmiahnya, Bungarus fasciatus, berasal dari kata
dalam bahasa Telugu (India) bungarum yang berarti ‘emas’, merujuk pada belang
warna kuning di tubuhnya[1], dan kata bahasa Latin fasciata yang berarti
‘berbelang’ (fascia, belang atau pita).
Pengenalan
Ular yang berukuran sedang, dengan panjang maksimum
yang tercatat 2125 mm; akan tetapi umumnya ular dewasa hanya sekitar 1,5 m atau
kurang. Sekitar sepersepuluh dari panjang itu adalah ekornya, yang berujung
tumpul buntek.[3] Bentuk badan menyegitiga, dengan punggung yang membentuk
sudut di atas. Berwarna menyolok, belang-belang hitam kuning (atau hitam
putih), kurang lebih sama lebar antara kedua warna itu. Warna hitamnya terus
bersambung hingga ke sisi perutnya (lihat gambar no. 6 di bawah), kecuali pada
sepertiga bagian muka tubuhnya. Kepala lebar dan gepeng dengan pola di atasnya
seperti anak panah berwarna hitam (gambar no.2), dan bibir yang berwarna
kekuningan atau keputihan kusam.
Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah
badan, sisik-sisik vertebral (di atas tulang punggung) membesar dan berbeda
bentuknya dari sisik-sisik dorsal yang lain, membentuk semacam gigir di atas
punggung (gambar no 5). Sisik-sisik ventral (perut) 200—234 buah, sisik anal
tunggal, dan sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 23—39 buah, tak berpasangan.
Sisik-sisik labial (bibir) atas 7 buah, no-3 dan -4 menyentuh mata.
Jenis yang serupa
Ular weling (Bungarus candidus) memiliki bentuk tubuh
dan warna yang mirip ular welang, namun umumnya lebih kecil dan tidak memiliki
varian warna hitam-kuning. Belang hitamnya hanya di sisi atas dan samping tubuh
(dorsal, punggung), dan warna putihnya ternoda oleh bintik-bintik hitam.
Ekornya kurus panjang dan meruncing.
Ular serigala Lycodon subcinctus yang muda memiliki
bentuk dan warna serupa ular weling, hanya belang hitamnya lebih lebar daripada
putihnya.
Ular cincin mas (Boiga dendrophila) berwarna hitam
berbelang kuning, akan tetapi warna kuningnya jauh lebih sempit dan perutnya
berwarna hitam seluruhnya.
Beberapa jenis ular laut berwarna belang putih-hitam
atau putih-kehitaman dan kadang-kadang ditemukan naik ke pantai, namun semua
ular laut mudah dibedakan dari ular darat karena bentuk ekornya yang pipih
serupa dayung.
Penyebaran, habitat dan perilaku
Ular welang diketahui menyebar luas mulai dari India,
Bhutan, Nepal, Bangladesh, Cina bagian selatan (termasuk Hong Kong, Hainan, dan
Makao), Burma, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya, Singapura,
dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Borneo)
Sebaran ular ini meliputi wilayah-wilayah dekat pantai
hingga daerah bergunung-gunung sekurangnya sampai ketinggian sekitar 2.300 m
dpl., namun umumnya lebih kerap dijumpai di dataran rendah. Ular welang
menghuni wilayah-wilayah perbatasan antarahutan-hutan dataran rendah yang
lembap dengan yang lebih kering, hutan-hutan pegunungan, semak belukar,
rawa-rawa, daerah pertanian, perkebunan dan persawahan. Tidak jarang pula
dijumpai dekat permukiman, jalan raya atau sungai.
Mangsanya terutama adalah jenis-jenis ular lainnya,
meskipun ular ini mau juga memakan aneka jenis reptil, kodok, serta
kadang-kadang ikan, dan telur. Ular welang terutama aktif berburu di malam hari
(nokturnal) di atas tanah (terestrial), dan pada siang hari bersembunyi di
bawah tumpukan kayu atau batu. Di India, ular ini diketahui tidur di rerumputan
tinggi, lubang-lubang dan juga di saluran air. Di antaranya, ular welang juga
memangsa ular jali (Ptyas korros)
Hanya sedikit yang diketahui mengenai perbiakannya. Di
Burma, dalam suatu penggalian, seekor ular welang betina ditemukan tengah
‘mengerami’ empat butir telurnya, yang kemudian menetas di bulan Mei. Anaknya
yang baru menetas berukuran antara 298—311 mm.
Dilaporkan bahwa ular ini umumnya jinak dan tak mau
menggigit orang di siang hari, namun agresif di malam hari. Bila diganggu,
biasanya ular ini akan menyembunyikan kepalanya di bawah tumpukan tubuhnya yang
bergelung. Akan tetapi hal ini tak dapat dijadikan pegangan mengingat
sifat-sifat ular yang amat bervariasi dari individu ke individu dan sukar untuk
diramalkan. Ular welang dikategorikan amat berbahaya karena bisanyayang
bersifat mematikan, meskipun laporan kematian pada manusia akibat gigitan ular
ini termasuk rendah.
Mengingat reputasinya, nama ular ini diabadikan
sebagai salah satu kapal perang TNI-AL, yakni KRI Welang.
Sebenarnya masih banyak lagi ular yang kita kenal
tersebut, dan akan kita lanjut pada edisi berikutnya.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.
Ular Indonesia
By Budi
Suhono on January 22, 2013
Indonesia
sebagai daerah tropis merupakan surga bagi kebanyakan hewan melata
terutama ular (ophidia). Indonesia terletak di di 6⁰ Lintang
Utara (LU) dan 11⁰
Lintang Selatan (LS) serta di 141⁰ Bujur Barat (BB) dan 95⁰ bujur
timur (BT). Di Indonesia terdapat sekitar 17.504 pulau.
Kepulauan ini benar-benar merupakan habitat yang sangat cocok bagi
kebanyakan reptil. Letak geografis Indonesia merupakan tempat atau habitat di
bumi ini di mana hewan berdarah dingin khususnya reptil betah tinggal
untuk hidup dan berkembang biak. Ditambah lagi, di Indonesia hanya
terdapat 2 musim saja, yaitu musim hujan (September—Februari) dan
musim panas (Maret—Agustus). Di Indonesia terdapat ular terkecil di dunia (Ramphotyphlops
braminus) dan ular terpanjang di dunia (Broghammerus reticulatus),
serta ular berbisa terbesar dan terpanjang di dunia (Ophiophagus hannah).
Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok bagi
berjenis-jenis reptil khususnya ular (Ophidia), berdasarkan buku Ophidia
van Java tulisan Van Hoesel tahun 1959, di Indonesia terdapat 400
jenis ular (termasuk juga anak jenisnya). Sudah tentu data ini agak
ketinggalan tetapi masih cukup memadai digunakan karena sampai sekarang
penelitian yang akurat dan acceptable masih belum memuaskan. Data-data
dalam buku itu yang agak ketinggalan adalah tentang penetapan nama ilmiah
yang valid atau sah. Karena penetapan ini dibuat berdasarkan konsensus bersama
ahli-ahli biologi sedunia berdasarkan data-data baru yang dapat diterima dan
ditetapkanlah nama-nama baru untuk berjenis-jenis ular dan anak jenisnya
menjadi nama baru atau dipindahkan ke dalam marga atau suku baru. Dasar dari
semua itu adalah data penelitian yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.
Akibatnya bila dilihat kembali, maka jenis-jenis ular atau nama-nama ilmiahnya
serta marga kemungkinan sudah banyak yang berubah. Perubahan ini sangatlah
wajar karena perkembangan dalam dunia ilmiah yang terus berjalan. Penelitian
yang mendalam oleh herpetologist atau oleh naturalist atau oleh
ahli-ahli yang tertarik pada bidang ini sangatlah perlu agar data baru yang
lebih akurat dan acceptable didapatkan.
Habitat. Secara global ular di Indonesia memiliki habitat (1)
di darat (terrestrial), (2) di pepohonan (arboreal), (3) di air (aquatic),
walaupun secara kenyataannya ketika habitat ini tidak secara absolut
ditinggali. Di alam sebenarnya ular laut itu juga naik ke daratan atau pergi di
daerah karang yang agak kering untuk beranak atau beristirahat dan tidak
selamanya tinggal di dalam air di laut. Batasan lain dapat juga dapat dikatakan
(4) terrestrial aquatic (di tanah dan juga di air)
dan (5) terrestrial nonaquatic (di tanah dan jarang masuk ke air). (6) terrestrial
arborial, hidup di darat dan terkadang-kadang tinggal pula di atas
pepohonan.
- Jenis-jenis ular yang memiliki habitat di darat (terrestrial), umpamanya: ular sendok (Naja sputatrix), ular sapi (Coelognathus radiatus), ular pelangi (Xenopeltis unicolor), ular bandontan puspa (Daboia russellii) dan lain-lain. Jenis ini umumnya tinggal di darat.
2)
Jenis-jenis ular yang memiliki habitat di pepohonan (arboreal), umpamanya:
ular pucuk (Ahaetulla prasina), ular telampar angin (Dendrelaphis
pictus), ular cincin mas (Boiga dendrophila) dan ular hijau bakau (Gonyosoma
oxycephala). Jenis-jenis ini umumnya tinggal di atas dahan pepohonan.
3) Jenis-jenis
ular yang memiliki habitat di air (aquatic), umpamanya: ular karung (Acrochordus
javanicus), ular lempe (Laticauda colubrina), ular kadut belang (Homalopsis
buccata), ular kadut pelangi (Enhydris enhydris). Jenis-jenis ini
umumnya ditemukan di air tetapi tidak selamanya berdiam di air.
4)
Jenis-jenis ular yang memiliki habitat terrestrial aquatic, umpamanya: ular
macan (Xenochropis piscator), ular air segitiga merah (Xenochrophis
trianguligerus), ular kadut tembaga (Enhydris plumbea). Jenis-jenis
ini tinggal di atas tanah tetapi senang atau mencari makan di air dengan
mencari ikan.
5)
Jenis-jenis ular yang memiliki habitat terrestrial nonaquatic, umpamanya:
ular bandotan puspa (Daboia russellii), ular buta bramini (Ramphotyphlops
braminus), ular picung (Rhapdophis subminiatus). Jenis-jenis ini
umumnya ditemukan di darat dan jarang ditemukan berada di air.
6)
Jenis-jenis ular yang memiliki habitat terrestrial arboreal, umpamanya: ular
sanca (Broghammerus reticulatus), ular ular sanca batu atau ular
sanca manuk (Python molurus), ular koros (Ptyas korros).
Jenis-jenis ini tinggal di tanah tetapi sering pula ditemukan di atas
pepohonan.
Pengetahuan tentang habitat ular di Indonesia, sangat
berguna untuk mencari dan menemukan jenis-jenis ular yang akan dipelajari dan
diteliti. Habitat merupakan salah satu kompas untuk menemukan jenis-jenis
ular di alam yang terkadang sangat sulit dan berat bagi kebanyakan
orang awam.
Mempelajari ular. Ular merupakan reptil yang
sangat penting fungsinya dalam ekologi persawahan dan hutan. Dalam ekologi
persawahan, ular-ular pemangsa tikus (Ptyas spp,; Coelognathus
sp,; Gonyosoma sp.; Broghammerus sp.; Python spp.)
sangat penting. Hasil persawahan yang susah payah diusahakan oleh petani dengan
biaya yang cukup tinggi akan mengecewakan hasilnya kalau ternyata penen padinya
hanya sedikit bahkan mungkin menjadi puso karena terserang hama tikus.
Tikus sawah (Rattus diardi, Rattus argentiventer dan Rattus
spp., dan lainnya) sudah menyerang tanaman padi sejak baru ditaman yang
masih berumur 1 bulan. Bila, bulir-bulir padi mulai mengisi dan menguning
pun tidak luput dari serangan kawanan tikus-tikus di sawah.
Panen padi rendah. Tikus dapat menjadi populasi yang
sangat besar dan berbahaya bila tidak dikendalikan pertumbuhan
populasinya. Dalam satu bulan seekor tikus betina dapat melahirkan 6—12
anak tikus baru yang dalam 2—3 bulan kemudian tikus-tikus muda ini sudah
menjadi tikus dewasa yang siap melahirlan lagi. Sedangkan tikus betina setelah
berumur 2 bulan sudah siap melahirkan lagi. Dan, musim dari tikus sawah
yang paling efektif adalah ular-ular pemakan tikus. Oleh karena itu,
jangan membunuhi ular-ular pemakan tikus di sawah, kalau perlu dijaga jumlahnya
agar memadai untuk menekan populasi tikus sawah.
Produksi padi yang rendah, satu hektar sawah
hanya menghasilkan 4—5 ton padi merupakan faktor yang membuat petani padi
menjadi miskin dan susah. Dan salah satu faktor yang penyebabkannya adalah
rusaknya ekologi persawahan yang disebabkan tidak ada atau berkurangnya jumlah
musuh alami tikus di persawahan, yaitu ular.
Pengobatan modern. Saat ini banyak penelitian yang
meneliti obat-obat baru yang didapat dari bisa ular. Bisa ular berisi banyak
senyawa-senyawa organik yang dapat dipisahkan dan dimanfaatkan sebagai
obat. Bisa selain dimanfaatkan sebagai bahan penghasil serum antibisa
ular, juga merupakan bahan dasar dari obat-obatan di masa depan.
Penelitian mendalam tentang senyawa-senyawa organik dan asam-asam amino serta
enzim-enzim di dalam bisa ular amat menjanjikan bagi pengobatan di masa depan.
Biologi ular. Sebagai hewan berdarah dingin,
ular memiliki suhu tubuh yang sama dengan suku lingkungannya. Oleh karena itu,
ular membutuhkan tempat yang hangat untuk menjaga agar metabolisme tubuhnya
berjalan dengan baik. Ular berdarah dingin karena darah bersih dan darah kotor
masih bercampur dan percampuran ini menyebabkan suhu tidak dapat dipertahankan
stabil. Akibatnya pula, ular membutuhkan zat-zat pembantu pencernaan makanannya
agak lebih cepat hancur. Selain asam lambung yang kuat (HCL) ular juga memiliki
bisa.
Aktifitas ular ada yang keluar mencari makan pada
malam hari (nocturnal) dan ada pula yang keluar siang hari (diurnal)
untuk mencari makanannya. Tidak seperti hewan lain, ular setelah mendapatkan
mangsa yang cukup, ular akan bersembunyi untuk beberapa lama agar semua
mangsanya tercerna dengan sempurna di dalam perutnya.
Bisa. bagi ular, bisa tidak lain
hanyalah zat pembantu pencernaan bagi ular. Bisa membunuh dan menguraikan
jaringan-jaringan tubuh mangsanya dan pada akhirnya memudahkan ular untuk
mencernakan mangsanya itu. Bisa diproduksi oleh kelenjar bisa yang merupakan
perkembangan dari kelenjar ludah yang sudah berubah fungsi dan
sekresinya. Secara sederhana, bisa adalah ludah ular yang telah berubah
fungsi; tidak hanya sebagai cairan pembantu pencernaan tetapi juga untuk
membela diri. Secara umum bisa digolongkan neurotoksin/nerotoksin
(?) (perusak jaringan syaraf mangsanya) dan haemotoksin/ hemotioksin
(?) (perusak jaringan darah mangsanya). Walaupun detailnya di dalam bisa itu
terdapat juga kadiotoksin, renaltoksin, pulmotoksin dan toksin-toksin
lainnya yang semuanya berfungsi untuk mencairkan jaringan darah atau jaringan
saraf mangsanya. Karena bisa adalah alat bantu bagi ular untuk memudahkan menangkap
dan mencerna mangsanya. Bisa disuntikkan dengan bantuan taring bisa
(glypha). Bagi ular tidak berbisa (aglypha), cairan yang kuat dalam
lambungnya (asam lambung, HCL) membantu menghancurkan jaringan-jaringan tubuh
mangsanya agar mudah diserap oleh usus ular. Makan bagi ular adalah
memperoleh unsur-unsur hara bagi tubuhnya yang berasal dari mangsanya.
Virulensi bisa. Kekuatan bisa setiap ular berbeda-besa
berdasarkan jenisnya, ukurannya dan waktu bisa itu dikeluarkan. Jenis-jenis
ular dari suku Elapidae umumnya memiliki virulensi bisa yang tinggi 10–50 mg
sudah dapat membunuh manusia sedangkan virulensi bisa dari ular-ular dari suku
Viperidae 40–100 mg. Ukuran ular juga amat penting diketahui, ular berukuran
besar pasti memiliki kelenjar bisa (glandula venomous) yang besar dan banyak
isinya. Waktu, sewaktu ular sehabis ular berganti kulit, umumnya memiliki
kandungan bisa yang tinggi virulensinya. Begitu pula ular yang terlah
terprovokasi akan menyiapkan untuk mematuk dengan jumlah bisa yang banyak dibanding
dengan ular yang mematuk cuma karena tidak sengaja atau
kaget. Di alam ular bisa mematuk dengan dosis bisa yang tidak terlalu besar
sehingga korban seperti ini tidak mati, hanya mengalami pembengkakan dan
nekrosis setempat.
Unsur-unsur senyawa organik (enzim)
yang terdapat dalam bisa ular adalah: proteinase, L-asam amino oksidase,
hialuronidase, kolinesterse, ribonuklease, fosfolipse A, fosfomonesterase, dan
lain-lain. Enzim-enzim ini membantu menguraikan jaringan mangsanya agar mudah
dicerna.
Kriteria ular berbisa. Ular berbisa harus memiliki
kelenjar bisa dan gigi bisa serta bisanya bervirulensi tinggi; bisa dapat
mematikan mangsanya atau hewan lain yang terkena bisa bila terpatuk. Sebab ada
juga ular yang memiliki kelenjar bisa dan taring bisa tetapi bisanya tidak
cukup kuat untuk membunuh hewan lain atau manusia selain hanya untuk mangsanya
saja. Gigi bisa (glypha), berdasarkan letaknya ada yang di rahang bagian depan proteroglypha
dan ada pula yang letaknya di rahang bagian belakang opisthoglypha. Tipe
gigi berdasarkan saluran keluarnya bisa ada yang bercelah (sutura) dan ada pula
yang berliang (solenos). Ular-ular dari suku Viperidae umumnya memiliki
gigi bisa tipe berliang (soleno glypha) dan ular-ular dari suku Elapidae
umumnya memiliki tipe gigi bisa (sutura glypha). Penting diketahui, bahwa ular
berbisa tidak bisa dicirikan dengan hanya melihat bentuk kepala yang segi tiga,
kulit yang mengkilat, gerakannya yang lambat. Semua itu tidak benar dan sangat
menyesatkan.
Kulit ular. merupakan pembungkus tubuh yang memiliki
lapisan tanduk yang sewaktu-waktu dapat mengelupas atau molting untuk
memperbaiki kerusakan yang ada atau untuk bertambah besar atau untuk
mempercantik dirinya untuk menarik pasangannya. Pada beberapa jenis ular, corak
kulitnya amat indah dan terkadang kulit ini cukup tebal. Dan bagi sebagaian
yang lain amat tipis. Kulit ular, berguna untuk melindungi tubuhnya dari
sengatan matahari, duri, dan dari penyakit yang menular dan dari suhu
yang terlalu dingin. Pada beberapa jenis ular, corak dan warna kulit berbeda
bagi individu jantan dan individu betina. Di alam bahkan terdapat ular yang
mengalami kelainan pigmentasi kulit sehingga menjadi kaliko, leusistik
dan albino.
Pengindraan. Ular mengindra mangsa atau
lingkungannya dengan bantuan ujung lidahnya yang bercabang. Semua ular memiliki
ujung lidah yang bercabang yang membantunya memperluar areal pengindraan. Udara
atau aroma lingkungan ditangkap oleh ujung-ujung lidahnya kemudian disentuhkan
ke organ Jacobson yang terdapat pada langit-langit di dalam mulut ular. Setelah
di olah oleh otak ular, maka disadarilah tentang objek yang ada di
sekililingnya.
Perkembang-biakan. Ular berkembang biak dengan
bertelur beranak (ovovivipar) dan bertelur (ovipar). Setelah 60—80 hari
telur-telur ular menetas. Terdapat jenis-jenis ular yang membuat sarang
dan menjaga telur-telurnya dan ada pula yang mengerami telur-telurnya. Untuk
ular yang bertelur beranak induknya menjaga hanya untuk beberapa saat
anak-anaknya kemudian pergi meninggalkannya. Telur dikeluarkan 6—100. Untuk
ular-ular kecil seperti ular buta telurnya hanya sedikit dan untuk ular-ular
berukuran besar seperti sanca, telur dapat dikelurkan sampai 100 butir. Suhu
yang dibutuhkan telur-telur untuk menetas sekitar 35—37 derajat Celsius.
Sebelum bertelur ular betina akan mengadakan kopulasi dengan ular jantan.
Ular merupakan hewan yang membutuhkan waktu cukup lama dalam melakukan
penetrasi hemipenis ke tubuh betinanya. Secara garis besar ada ular uang
bertelur (oviparous) dan ada pula jenis-jenis ular yang bertelur beranak
(Ovoviviparous). Umumnya jenis-jenis ular laut bertelur beranak.
Penyakit. Ular kerap kali juga terserang
penyakit seperti terinfeksi cacing, infeksi jamur dimulut atau terinfeksi
caplak di kulitnya. Infeksi pada mulut ular menyebabkan ular enggan makan dan
setelah beberapa lama akan mati. Obat-obatan antiinfeksi dapat mengobati
penyakit-penyakit ular. Caplak juga dapat menyebabkan ular gelisah dan menjadi
kurus.
Penamaan ilmiah. Semua penamaan ilmiah ular memiliki
arti mulai dari nama suku, marga, jenis dan epitetnya. Kaidah bahasa Latin
tetap dipakai dalam penamaan jenis-jenis ular di seluruh dunia. Author nama
ilmiahnya memberikan nama jenis dengan arti dan maksud tertentu. Epitet diambil
dari bahasa Latin atau dari bahasa Yunani atau dari bahasa daerah lain yang
telah dilatinkan.
Klasifikasi pemanaan jenis yang umum digunakan adalah
Kerajaan Animalia
(kerajaan hewan)
Filum Chordata
(memiliki tulang belakang)
Subfilum Vertebrata
(bertulang belakang)
Kelas Retilia
(hewan merayap)
Bangsa Squamata (bersisik)
Anak bangsa Serpentes
(Ophidia) = (ular)
Suku Elapidae (ular elapid)
Marga Naja (ular
sendok)
Jenis ular sendok (Naja sputatrix
BOIE, 1827)
Ular sendok peludah, dari epitet Latin: sputare
artinya peludah, penyembur.
Penulisan nama ilmiah lengkap dari ular sendok (Naja
sputatrix BOIE, 1827). F. BOIE adalah author
(Inggris: author species) jenis yang pertama kali memaparkan
atau mempertelakan jenis ular ini kepada dunia lewat bulletin ilmiah atau
majalah ilmiah (seperti Treubia dll.) atau orang yang paling tepat
memberikan laporan ilmiah tentang ular ini. Dan melalui, konsensus
ahli-ahli biologi sedunia (dalam symposium atau rapat ilmiah tingkat dunia
lainnya), berdasarkan rincian laporan ilmiahnya itu, maka F. BOIE ditetapkan
sebagai author nama jenis untuk ular ini.
Suku-suku ular dengan jenis-jenisnya.
Di Indonesia terdapat 10 suku ular yang meliputi
seluruh jenis ular (400 jenis dan anak jenisnya) yang terdapat di
Indonesia. Suku-suku ular di Indonesia adalah:
1) Suku
Cylindrophiidae (suku ular pipa, pipe snakes family);
2) Suku Anomochilidae (suku ular
pipa cebol, dwarf pipe snakes family);
3) Suku
Xenopeltidae (suku ular pelangi, earth snakes family);
4) Suku
Typhlophidae (suku ular buta, blind snakes family);
5) Suku Boidae
(suku ular sanca, python and boas family);
6) Suku Colubridae
(suku ular sapi, colubrid snakes family);
7) Suku
Acrochordidae (suku ular karung, wart snakes family);
8) Suku Elapidae
(suku ular sendok, elapid snakes family);
9) Suku Viperidae
(suku ular bandotan puspa, viper snakes family);
10) Suku
Hydrophiidae (suku ular lempe, sea snakes family).
Detail rincian suku-suku ular di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1) Suku
Cylindrophiidae (suku ular pipa, pipe snakes family). Suku ular
ini terdiri atas 2 marga, yaitu: a) Cylindrophis dan b) Anomochilus.
Suku ular pipa ini memiliki 10 jenis ular. Disebut ular pipa karena tubuhnya
berbentuk membulat mirip pipa dan berkembang biak dengan bertelur beranak (ovoviviparous).
Jenis ular dari suku ini yang paling terkenal adalah ular kepala dua (Cylindrophis
rufus).
Ular kepala dua (Cylindrophis
rufus). Jenis ini berukuran hanya sekitar 50—70cm. Habitatnya di rawa,
kolam, sungai dan danau. Ular ini tubuhnya berwarna hitam-keunguan atau
kehitaman dengan coreng-coreng merah. Bagian perut berwarna putih dan hitam
berselingan. Pada kepala dan ekor terdapat warna merah. Bila ular ini berjalan,
ekornya mengungkit ke atas seolah-olah kepada. Orang awam menamakannya ular kepada
dua karena tingkah lakunya itu. Ular ini makan lindung dan ikan kecil. Ular ini
tidak berbisa.
2) Suku Anomochilidae
(suku ular pipa cebol, dwarf pipe snakes family). Suku ini hanya memiliki 3
jenis ular yang terdapat di Sumatra, Kalimantan dan Malaysia. Ketiga jenisnya
ini adalah: a) Anomochilus leonardi, b) Anomochilus
weberi, c) Anomochilus monticola.
Jenis-jenisnya tinggal di lubang-lubang tanah atau di celah-celah bebatuan atau
selasah tumbuhan yang tebal di daerah yang dekat dengan perairan.
3) Suku
Xenopeltidae (suku ular pelangi, earth snakes family). Suku ular ini di
Indonesia hanya diwakili oleh satu jenis ular, yaitu ular pelangi (Xenopeltis
unicolor). Tubuh ular ini berwarna kehitaman dan bersinar atau
mengeluarkan warna mengkilat mirip pelangi. Ukuran tubuhnya hanya sekitar
70—100 cm. Jenis ini makan katak, kadal, tikus, dan ular-ular kecil jenis
lainnya. Ular pelangi tidak berbisa.
4) Suku
Typhlophidae (suku ular buta, blind snakes family). Suku ular ini terdiri
atas 3 marga yang meliputi 166 jenis ular. Di Indonesia hanya terdapat dua
marga saja, yaitu: a) Typhlops dan b) Ramphotyphlops. Dari kedua
marga ini hanya terdapat sekitar 34 jenis. Jenis ular dari suku ini yang sering
ditemukan adalah ular buta brahmini (Ramphotyphlops braminus). Ular-ular
kecil ini berkembang-biak dengan bertelur dan hidup dari makan telur dan larva
semut dan rayap.
Ular buta brahmini berukuran pendek dan kecil,
panjang sekitar 8—15 cm dengan diameter tubuh hanya sekitar 0,3—0,5 cm. Warna
tubuhnya hitam, hitam agak cokelat atau keabu-abuan. Kepala dan ekor hampir
mirip. Bagian ekor berbeda dengan bentuk agak lancip. Jenis ini makan telur
semut atau telur rayap. Ular terkecil di dunia ini berkembang biak dengan
bertelur.
5) Suku Boidae
(suku ular sanca, python and boas family). Suku ular ini terdiri atas 20 marga
sedangkan di Indonesia hanya terdapat 7 marga saja. Marga-marga yang terdapat
di Indonesia adalah: a) Broghammerus, b) Python, c) Bothrochilus,
d) Morelia, e) Candoia = Enygrus, f) Chondropython, g) Liasis.
Dari keenam marga ini terdapat sekitar 20 jenis ular dari suku ini. Suku ini
juga merupakan suku yang memiliki banyak jenis-jenis ular yang dimanfaatkan
sebagai hewan timangan (pet).
Suku ini memiliki jenis ular yang merupakan ular
terpanjang dan terbesar di dunia, yaitu jenis ular sanca kembang (Broghammerus
reticulatus). Jenis ular sanca kembang dapat mencapai panjang 11 meter
(catatan ilmiah) dengan berar mencapai 100 kg lebih. Ular ini makan tikus,
katak, kadal, burung dan mamalia kecil lainnya. Jenis yang telah besar dapat
memangsa anak kijang, anak babi, anjing serta hewan mamalia lainnya di
hutan-hutan. Ular sanca kembang membunuh mangsanya dengan membelit. Mangsanya
mati tercekik karena tidak dapat bernapas. Ular sanca tinggal di lubang-lubang
tanah di tepian kali, di gua, dan di pepohonan atau di lubang dalam
gorong-gorong kalau di daerah perkotaan. Ular ini juga pandai berenang dan
menyelam dalam air. Jenis ular ini berkembang biak dengan bertelur.
Selain ular sanca kembang, terdapat juga jenis ular sanca pohon
yang amat cantik dan indah, yaitu ular sanca hijau (Morelia viridis).
6) Suku
Colubridae (suku ular sapi, colubrid snakes family). Suku ular tikus, suku
ini memiliki marga dan jenis paling banyak di dunia. Di dunia terdapat 1500
jenis ular yang termasuk dalam suku ini yang terkelompok dalam 100 marga.
Sedangkan di Indonesia terdapat 240 jenis ular dari suku ini yang termasuk
dalam 41 marga. Jenis ular dari suku ini yang amat terkenal adalah ular sapi (Coelognathus
radiatus). Disebut ular sapi kemungkinan warna tubuhnya cokelat mirip warna
sapi. Jenis ular ini merupakan pemangsa tikus yang paling hebat. Tikus diburu
ke sarangnya dan seluruh tikus yang berada di dalam sarang
ditelannya. Ular sapi berukuran sampai 2 meter. Bila ular ini marah, maka
akan melengkungkan bagian lehernya berbentuk huruf S dan membuka mulutnya.
Warna hitam dan putih bercorak kuning terlihat jelas, apabila ular ini marah.
Ular sapi makan tikus, katak, kadal dan mencit, dan burung serta berkembang
biak dengan bertelur. Ular-ular dari suku ini umumnya tidak
berbisa, sebagian hanya berbisa lemah dan hanya terdapat satu ekor yang
berbahaya bagi orang yang bergolongan darah O, yaitu ular picung (Rhabdophis
subminiatus).
7) Suku
Acrochordidae (suku ular karung, wart snakes family). Suku ini hanya
memiliki 2 marga, yaitu: a) Acrochordus dan b) Chersydrus yang
meliputi 3 jenis ular saja. Kedua marga ini terdapat di Indonesia. Ular
dari suku ini merupakan ular yang umumnya ditemukan di air atau di sekitar
tambak-tambak ikan dan di daerah hutan-hutan bakau. Jenis yang umum ditemui
adalah ular karung (Acrochordus javanicus). Ular karung memiliki kulit
yang kasar karena memiliki bintil-bintil pada permukaan kulitnya. Ukuran ular
yang besar dapat mencapai 2 meter. Jenis ini makan ikan dan katak. Bagi
petambak ikan, ular karung merupakan ham perikanan. Jenis-jenis ular dari suku
ini bertelur beranak (ovovivipar). Jenis ular dari suku ini tidak berbisa.
8) Suku
Elapidae (suku ular sendok, elapid snakes family). Suku ini merupakan suku
ular berbisa. Semua anggota jenisnya memiliki bisa yang berbahaya bagi manusia.
Bisanya tergolong racun syaraf (neurotoksin). Di dunia
terdapat 200 jenis ular yang termasuk dalam suku dan tergolong dalam
38 marga. Di Indonesia terdapat 50 jenis ular dari suku ini yang termasuk
dalam 15 marga. Jenis ular yang paling terkenal dari suku ini adalah ular anang
atau ular lanang (Ophiophagus hannah) dan ada pula yang
menyebutnya king kobra. Ular anang merupakan ular terbesar dan terpanjang
dari kelompok ular berbisa. Bisanya berwarna kuning dan berbahaya untuk manusia
dan hewan. Ular anang dapat mencapai ukuran panjang sampai 6 meter dengan berat
mencapai 10 kg. Jenis ini bentuknya mirip dengan ular sendok tetapi berukuran
lebih besar. Ular anang bila marah kerapkali membuka mulutnya. Ular ini
memangsa ular-ular jenis lain dan berkembang biak dengan bertelur.
9) Suku
Viperidae (suku ular bandotan puspa, viper snakes family). Di dunia
terdapat sekitar 40 jenis ular viper yang termasuk dalam 10 marga. Semua
jenis ular dari suku ini berbisa. Sedangkan di Indonesia terdapat 15 jenis ular
viper yang termasuk dalam 7 marga. Jenis yang umum dijumpai dari ular dalam
suku ini adalah ular tanah (Calloselasma rhodostoma). Jenis ular ini
berukuran 60 cm—1 meter. Warna dasar tubuhnya adalah cokelat dengan coreng atau
batik cokelat tua atau cokelat muda. Ular tanah memangsa tikus, mencit, katak
dan kadal. Ular tanah berkembang biak dengan bertelur. Ular berbisa ini sangat
berbahaya bagi manusia dan hewan. Bisanya termasuk golongan racun darah
(haemotoksin). Jenis ular viper lainnya adalah ular cinta mani (Tropidolaemus
wagleri) yang senang tinggal di pepohonan.
10) Suku
Hydrophiidae (suku ular lempe, sea snakes family). Suku ini merupakan
suku ular yang jenis-jenisnya merupakan ular laut. Semua jenis ular dari suku
ini bebisa kuat dan berbahaya bagi manusia. Di dunia terdapat 53 jenis ular
laut. Sedangkan di seluruh perairan di Indonesia teradapat 32 jenis ular laut. Satu
jenis yang sangat umum ditemui oleh masyarakat adalah ular lempe (Laticauda
colubrina). Ular ini berukuran sampai 1 meter tetapi umumnya ditemui lebih
pendek dari itu 60—80 cm. Ular ini bertingkah lalu jinak tetapi tetap berbahaya
karena memiliki bisa yang mematikan. Para nelayan sering menemukan ular ini
tersangkut dalam jala ikan atau sering menemukannya bersarang di
antara celah-celah bebatuan karang di daerah pantai. Warna tubuhnya putih dan
hitam dengan bentuk tubuh silindris dan ujung ekornya melebar membentuk
seperti dayung. Semua jenis ular laut memiliki bentuk ekor seperti ini.
Indonesia merupakan surga bagi reptil khususnya
ular. Kekayaan ini seharusnya dijaga dan dilestarikan. Fungsi ular sebagai
penyeimbang ekologi persawahan harus tetap diperhatikan. Pemanfaatan tetap
harus memperhatikan keseimbangan alam kalau tidak masyarakat Indonesia
sendiri yang akan mengalami kerugiannya di kemudian hari. Di alam
Indonesia terdapat jenis-jenis ular yang mengalami kelainan pigmen tubuh menjadi
kaliko (calico), leusistik (leucistic) atau albino. Bagi pecinta dan
penangkar ular sebaiknya ular-ular seperti ini dibudidayakan dan jangan
dikeluarkan ke luar Indonesia sebelum ditangkarkan di dalam negeri. Karena
ular-ular seperti ini merupakan kekayaan alam yang amat berharga. Silakan
ditangkarkan dahulu, kemudian F3 dan F4 dan seterusnya boleh
dijual. Sanggar Natural, Budi Suhono.
Note: Mohon dikoreksi untuk perbaikan naskah,
terima kasih.
Sumber:
Suhono, Budi. Mengenal ular di Indonesia.
Jakarta: Sanggar Natural.
Suhono, Budi. Ular berbisa di Indonesia. Jakarta:
Sanggar natural.
Poster ular berbisa di Indonesia, Sanggar
Natural, 2013.
Poster ular berbisa lemah di Indonesia,
Sanggar Natural, 2013.
Poster ular tidak berbisa di Indonesia (1),
Sanggar Natural, 2013.
Poster ular tidak berbisa di Indonesia (2),
Sanggar Natural, 2013.
Poster berbingkai dapat dipesan lewat
budipedia.com
Daftar Pustaka
Bellaris dan Carrington, 1966, The World
of Reptiles, London: Chatto and Windus Ltd.
Berhard, Sidney, 1968, The Structure and
Function of Enzymes, New York: Benjamin Co.
Bucherl, W dan Buckley, Eleanor E. 1968. Venomous
Animals and Their Venoms, New York: Academic Press, vol. 1.
— 1968, Venomous Animals and Their
Venoms, New York: Academic Press, vol. II/III.
Brongerma, L.D., 1958, Note on Vipera
Russellii (Shaw), Laiden: Zoologische Mededeling, deel 36, No. 4.
De Haas, C.P.J., 1950, Checklist of the
Snakes of Indo-Australia Archipelago, Bogor: Archipel Drukkerij, dari
Treubia, vol.3, No. 3, p. 511-625.
Fowler, Murray E., 1979, Restrain and
Handeling of Wild and Domestic Animals, Iowa State University Press.
Lim Leong Keng, Francis, 1991, Tales
and Scales, Singapure: Graham Bush Pte Ltd.
Goin and Goin, 1970, Introduction to
Herpetology, San Fransisco: W.H. Freemen and Company.
Gow, Graem F., 1982, Australia Dangerous
Snake, Australia: Angus & Robertson Publisher.
Heyne, K, 1978, Tumbuhan Berguna
Indonesia, Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Kawamura, Chinzei dan Sawai, 1975, Snakebites
in Indonesia dari The Snake, vol. 7, p. 73-78.
Kopstein, F., 1932, Bungarus javanicus, eine
neue Giftschlange von Java (Herpetologische Notizen), Treubia, vol.
14, p. 73-77.
Laporan, 1981, dari International Seminar
on Epidemiology and Medical Treatment of Snake-bites, dalam The Snake, vol.
13, p. 63-67.
Lim Bo Liat, 1981, Ular-Ular Berbisa di
Semenanjung Malaysia, Kuala Lumpur: Art Printing Works.
Neuhaus, H., 1935, Vipera russellii
limitis (Merten) dalam Treubia, vol. 15.
Phelps, Tony 1981, Poisonous Snake,
London: Blandfort Press Ltd.
Rogercaras, 1974, Venomous Animals of the
World, USA: Prentice – Hall International Inc.
Shine, Richard, 1991, Australian Snakes a
Natural history, Sydney, Australia: Reed Books Pty Ltd.
Storer dan Usinger, 1981, Elements of
Zoology, New York: Mc-Graw-hill Book Company, Inc.
Suhono, Budhy, 1984, Mengenal Ular
Berbisa, Jakarta: Berita Buana, 20 Agustus.
— 1985, Menenggang Ular Berbisa, Jakarta:
Majalah Zaman No. 19/VI/2 February.
— 1985, Mengidentifikasi Ular Berbisa,
Jakarta: Berita Buana, 13 Juni.
— 1985, Memberantas Hama Tikus secara
Kontrol Biologi, Jakarta: Berita Buana, 6 September.
— 1986, Ular Tanpa Bisa Tidak Berarti
Apa-Apa, Jakarta: Majalah Warnasari, No. 84/ VII.
— 1986, Ularmu, Bung, Jakarta:
Majalah Aku Tahu No. 36/III Februari.
Storr dan L.A. Smith, serta R.E. Johnstone, G.M.,
1986, Snakes Of Western Australia, Perth, Australia: The Western
Australian Museum.
Supriatna, Jatna, 1981, Ular Berbisa
Indonesia, Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Tweedie, M.W. F., 1954, The Snakes of
Malaya, Singapore: Government Printing.
Van Hoesel, J. K. P., 1959, Ophidia
Javanica, Bogor: Percetakan Archipel.
Wall, Capt. F. I. M. S., 1902, Aids to
the Differentiation of Snake, Bombay: Journal Bombay Natural History
Society, vol. 14, p. 337.
Wolf dan Eberhard Engelmann, 1981, Snake, Biolog, Behavior
and Relationship to Man, Fritz: Jurgen Obst.
Young, Genevieve G., 1961, Wilton’s
Microbiology, New York: Mc-
JENIS-JENIS ULAR DI INDONESIA
jenis-jenis ular
Reptil yang satu ini memang sudah akrab di kehidupah kita, sehingga kehidupan tentang ular menimbulkan keingin tahuan kita. Beikut ini adalah jenis-jenis ular yang biasa kita kenal. Baik ular yang berbisa (memiliki racun, venom), maupun yang tidak. Akan tetapi tidak perlu terlalu kuatir bila bertemu ular. Dari antara yang berbisa, kebanyakan bisanya tidak cukup berbahaya bagi manusia.
Lagipula, umumnya ular pergi menghindar bila bertemu orang. Ular-ular primitif, seperti ular kawat, ular karung, ular kepala dua, dan ular sanca, tidak berbisa. Ular-ular yang berbisa kebanyakan termasuk suku Colubridae; akan tetapi bisanya umumnya lemah saja.
Jenis ular-ular yang berbisa kuat di Indonesia biasanya termasuk ke dalam salah satu suku ular berikut: Elapidae (ular sendok, ular belang, ular cabai, dll.), Hydrophiidae (ular-ular laut), dan Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan).
Berikut ini beberapa jenis-jenis ular yang ada di indonesia:
suku Typhlopidae ular kawat (Rhamphotyphlops braminus)
suku Cylindrophiidae ular kepala-dua (Cylindrophis ruffus)
suku Pythonidae
Reptil yang satu ini memang sudah akrab di kehidupah kita, sehingga kehidupan tentang ular menimbulkan keingin tahuan kita. Beikut ini adalah jenis-jenis ular yang biasa kita kenal. Baik ular yang berbisa (memiliki racun, venom), maupun yang tidak. Akan tetapi tidak perlu terlalu kuatir bila bertemu ular. Dari antara yang berbisa, kebanyakan bisanya tidak cukup berbahaya bagi manusia.
Lagipula, umumnya ular pergi menghindar bila bertemu orang. Ular-ular primitif, seperti ular kawat, ular karung, ular kepala dua, dan ular sanca, tidak berbisa. Ular-ular yang berbisa kebanyakan termasuk suku Colubridae; akan tetapi bisanya umumnya lemah saja.
Jenis ular-ular yang berbisa kuat di Indonesia biasanya termasuk ke dalam salah satu suku ular berikut: Elapidae (ular sendok, ular belang, ular cabai, dll.), Hydrophiidae (ular-ular laut), dan Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan).
Berikut ini beberapa jenis-jenis ular yang ada di indonesia:
suku Typhlopidae ular kawat (Rhamphotyphlops braminus)
suku Cylindrophiidae ular kepala-dua (Cylindrophis ruffus)
suku Pythonidae
- ular sanca kembang (Python reticulatus)
- ular peraca (P. curtus)
- ular sanca hijau. (Morelia viridis’)
suku
Acrochordidae ular
karung (Acrochordus javanicus)
suku Xenopeltidae ular pelangi (Xenopeltis unicolor)
suku Colubridae
suku Xenopeltidae ular pelangi (Xenopeltis unicolor)
suku Colubridae
- Ular kisik alias ular lare angon, Xenochrophis vittatus
- ularsiput (Pareas carinatus)
- ular-air pelangi (Enhydris enhydris)
- ular kadut belang (Homalopsis buccata)
- ular cecak (Lycodon capucinus)
- ular gadung (Ahaetulla prasina)
- ular cincin mas (Boiga dendrophila)
- ular terbang (Chrysopelea paradisi)
- ular tambang (Dendrelaphis pictus)
- ular birang (Oligodon octolineatus)
- ular tikus atau ular jali (Ptyas korros)
- ular babi (Elaphe flavolineata)
- ular serasah (Sibynophis geminatus)
- ular sapi (Zaocys carinatus)
- ular picung (Rhabdophis subminiata)
- ular kisik (Xenochrophis vittatus)
suku
Elapidae
- ular cabai (Maticora intestinalis)
- ular weling (Bungarus candidus)
- ular sendok (Naja spp.)
- ular king-cobra (Ophiophagus hannah)
suku
Viperidae
- ular bandotan puspo (Vipera russelli)
- ular tanah (Calloselasma rhodostoma)
- ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)
Kalau mau tahu jenis- jenis ular yang ada didunia bisa di lihat di
wikipedia
Sumber: Wikipedia, gambar national geographic
Sumber: Wikipedia, gambar national geographic
Beberapa jenis ular beracun di Indonesia
Minggu, 20 Desember 2009
Siamese Russell’s Viper
Daboia russelii siamensis (Vipera russelii)
- panjang max : sampai 150cm
- terestrial
- nocturnal
- ovoviviparous
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : jawa
- panjang max : sampai 150cm
- terestrial
- nocturnal
- ovoviviparous
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : jawa
Malayan Pit-viper Calloselasma
rhodostoma
- panjang max : sampai 100cm
- terestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sumatera,jawa
- panjang max : sampai 100cm
- terestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sumatera,jawa
White-lipped Pit-viper Trimeresurus
albolabris albolabris
- panjang max : sampai 100cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa berbahaya
- penyebaran : sumatera,jawa,bali
- panjang max : sampai 100cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa berbahaya
- penyebaran : sumatera,jawa,bali
Pope’s Pit-viper Trimeresurus
popeiorum
- panjang max : sampai 82cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera
- panjang max : sampai 82cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera
Mangrove, or Shore, Pit-viper Trimeresurus
purpureomaculatus
- panjang max : sampai 105cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera,kalimantan
- panjang max : sampai 105cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera,kalimantan
Wagler’s Pit-viper or Temple Viper
Tropidolaemus wagleri
- panjang max : sampai 100cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera,kalimantan,sulawesi
- panjang max : sampai 100cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera,kalimantan,sulawesi
Trimeresurus Fasciatus
- panjang max : sampai 100cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : pulau djampea,sulawesi selatan
- panjang max : sampai 100cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : pulau djampea,sulawesi selatan
Bornean Pit-viper
Trimeresurus puniceus
- panjang max : sampai 64cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera,kalimantan,jawa
- panjang max : sampai 64cm
- arboreal
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera,kalimantan,jawa
Mountain Pit-viper Ovophis
monticola convictus
- panjang max : sampai 100cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera
- panjang max : sampai 100cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera
King Cobra
Ophiophagus hannah
- panjang max : sampai 585cm
- terrestrial
- diurnal
- berbisa dan sangat mematikan
- penyebaran : sumatera,jawa,kalimantan,bali
- panjang max : sampai 585cm
- terrestrial
- diurnal
- berbisa dan sangat mematikan
- penyebaran : sumatera,jawa,kalimantan,bali
Cobra Naja
sputatrix
- panjang max : sampai 160cm
- terestrial
- diurnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian besar dari wilayah Indonesia
- panjang max : sampai 160cm
- terestrial
- diurnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian besar dari wilayah Indonesia
Malayan, or Blue, Krait
Bungarus candidus
- panjang max : sampai 144cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
- panjang max : sampai 144cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
Banded Krait Bungarus
fasciatus
- panjang max : sampai 200cm
- terestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
- panjang max : sampai 200cm
- terestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
Red-headed Krait Bungarus
Flaviceps
- panjang max : sampai 190cm
- terestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sumatera,kalimantan
- panjang max : sampai 190cm
- terestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sumatera,kalimantan
Blue Long-glanded, or Blue Malaysian,
Coral Snake Maticora bivirgata flaviceps
- panjang max : sampai 140cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
- panjang max : sampai 140cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan mematikan
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
Small-spotted Coral Snake
Calliophis maculiceps
- panjang max : sampai 47cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera
- panjang max : sampai 47cm
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sumatera
Yellow-lipped Sea Krait Laticauda
colubrina
- panjang max : 150cm
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : perairan Indo-australia dan Pasifik barat
- panjang max : 150cm
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : perairan Indo-australia dan Pasifik barat
Beaked Sea Snake Enhydrina
schistosa
- panjang max : sampai 158cm
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : perairan Indo-Pasifik
- panjang max : sampai 158cm
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : perairan Indo-Pasifik
Red-necked Keelback
Rhabdophis subminiatus
- panjang max : sampai 130cm
- terrestrial
- diurnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
- panjang max : sampai 130cm
- terrestrial
- diurnal
- berbisa dan berbahaya
- penyebaran : sebagian dari wilayah Indonesia
Death adder
Acanthophis antarcticus
- pamjang max :…
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan sangat mematikan
- penyebaran : papua
- pamjang max :…
- terrestrial
- nocturnal
- berbisa dan sangat mematikan
- penyebaran : papua